Arti dan Sejarah Tarian Gawi

Avatar photo
1ggawi

Ada banyak bentuk ungkapan syukur manusia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ada yang disampaikan melalui do’a, karya sastra juga karya seni seperti patung, lukisan, lagu maupun tarian.

Pada masyarakat etnis Lio di Kabupaten Ende terdapat banyak tarian yang digunakan untuk mengungkapkan syukur mereka kepada Du’a Lulu Wula, Ngga’e Wena Tana atau Ndu’a Ngga’e, yang tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Salah satunya melalui Gawi.

Advertisement
IMG 20240820 WA0006
Scroll kebawah untuk lihat konten

Menurut arti etimologisnya Gawi berasal dari dua kata, yaitu ‘ga’ dan ‘wi’. ‘Ga’ artinya renggang dan ‘wi’  artinya ‘menarik’. Menurut asal kata tersebut, maka Gawi mempunyai arti ‘menarik yang renggang’.

Kata ‘ga’ jika didahului kata ‘ata’ menjadi ‘ata ga,’ yang dapat berarti “orang di sini”. Ungkapan “orang di sini secara lebih khusus dikenakan bagi mereka yang disegani. Dalam arti lain, kata ‘ga’ apabila ditambah huruf ‘h’ ditengahnya menjadi ‘gha’ yang artinya ‘sini.’ untuk menggabungkan kata ‘gha’ ini dengan ‘wi’ yang artinya ‘menarik’, maka mesti ditambahkan kata ‘da’ ditengah menjadi ‘wi da gha’ yang artinya ‘tarik ke sini’.

Berdasarkan etimologisnya maka Gawi bermakna, pertama, menarik, memanggil kembali orang-orang yang telah pergi untuk kembali ke persekutuan atau ke dalam. Kedua, menarik orang untuk bersama-sama dalam persatuan mendekati orang yang berwibawa dan berkuasa. Ketiga, menarik orang-orang yang belum sama sekali bergabung dalam persekutuan.

BACA JUGA :

Hampir kebanyakan masyarakat Ende-Lio yang hidup di zaman ini tidak mengetahui secara pasti tentang sejarah tarian Gawi. Ada sumber yang mengatakan bahwa pada zaman dahulu Aegomo (salah satu kampung di Roga, Kecamatan Ndona Timur) menjadi tempat orang banyak ‘todo pare’ (merontokan padi dengan kaki).

Pada setiap kali musim mengetam, Aegomo menjadi tempat yang sangat ramai dikunjungi oleh orang-orang, baik yang berasal dari Roga sendiri maupun dari luar dengan maksud todo pare. Actus todo pare biasanya dilakukan di halaman yang agak luas. Halaman tersebut dinamakan oleh orang Lio, Seka. Setelah orang melakukan todo pare di Seka, biasanya pare (padi) yang sudah bersih disimpan di dalam Lepa (lumbung).

Aktifitas todo pare yang pada awalnya mungkin dilakukan hanya oleh beberapa individu tertentu, akhirnya berkembang dan meluas menjadi aktifitas bersama. Pada awalnya berbagai hentakan kaki yang tidak beraturan dalam aktifitas tersebut, berkembang menjadi sebuah hentakan yang beraturan bahkan seragam.

Hentakan yang beraturan tersebut memberikan semangat bagi para pekerja. Menurut Yakobus Ari, gerak tarian Gawi sebenarnya ada kaitan dengan peristiwa todo pare atau pelepasan bulir padi dari tangkai dengan cara diinjak dengan kaki. Dan hentakan yang berulang-ulang itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya tarian Gawi.

Atas dasar pengalaman todo pare tersebut, akhirnya muncul istilah: Seka jadi Kanga, Lepa jadi Keda, artinya Seka yang pada awal mulanya biasa-biasa saja sebagai tempat todo pare, akhirnya berubah menjadi Kanga (tempat keramat yang biasa dipakai oleh para Mosalaki untuk membuat upacara adat, dan pada saat ini juga dipakai sebagai tempat Gawi).

Lepa yang pada awal mulanya digunakan sebagai tempat menyimpan padi menjadi Keda (tempat keramat yang berbentuk lumbung, yang biasanya juga digunakan oleh para Mosalaki dalam berbagai upacara adat).

BACA JUGA :

Orang Ende-Lio pada umumnya amat berpegang teguh pada hukum adat maupun aturan moral yang ada dibuat oleh Du’a Ngga’e, dengan perantaraan nenek moyang mereka. “Karena itu kehidupan mereka sangat terikat pada satu sistem kekerabatan adat istiadat yang sangat ketat dan dipimpim Mosalaki”, jelas Pit Wake.

Menurut catatan yang ditinggalkan oleh almarhum Leo W. Misa, sesepuh Lise Tana Pu’u, Gawi merupakan tarian massal yang melibatkan seluruh anggota suku sebagai pesertanya. Gawi ditarikan sebagai bagian penutup dari suatu rangkaian upacara syukuran yang diselenggarakan secara adat oleh suatu suku atau keturunan tertentu.

Dengan menarikan Gawi, semua anggota suku maupun orang luar yang terlibat didalamnya mengungkapkan kegembiraan dan rasa syukur mereka atas keharmonisan hubungan antara mereka dengan Du’a Ngga’e sebagai penyelenggara alam.

Keharmonisan hubungan tersebut  terlihat dari hasil panen yang melimpah serta terhindarnya anggota suku dari wabah penyakit maupun bala bencana. Dalam nada yang sama, pemerhati dan praktisi budaya Lio, Amatus Peta menegaskan bahwa Gawi adalah sebuah tarian kehidupan.

BACA JUGA :

Upacara syukuran yang biasa diselenggarakan sesuai musim panen itu disebut Mbama. Dalam upacara Mbama seluruh anggota suku berkumpul di One Ria atau Rumah Adat. Mula-mula mereka memberi sesajen dari hasil panen mereka kepada Ndu’a Ngga’e. Selanjutnya hasil panen tersebut dimakan bersama oleh seluruh anggota suku. Setelah upacara, baru diselenggarakan Gawi.

Tarian Gawi biasanya diawali dengan nyanyian secara bergantian oleh para peserta, pria dan wanita. Peserta wanita menyanyikan Bele Lele Lea, dan dijawab dengan nyanyian Lea Lele Bele oleh peserta pria. Begitu pula sebaliknya. Nyanyian ini terus dinyanyikan hingga jumlah peserta kian banyak dan Gawi makin ramai.

Selanjutnya peserta Gawi memberikan kesempatan kepada penyanyi khusus yang disebut Ata Sodha untuk mulai menyanyi atau Sodha mengiringi Gawi. Dahulu kala Ata Sodha mampu menyanyi selama tujuh hari tujuh malam. Kini Ata Sodha hanya mampu menyanyi selama semalam suntuk.

Untuk menarik napas sesaat Ata Sodha memberikan kesempatan sesaat kepada peserta Gawi menyanyiakan nyanyian yang disebut Oro.

Pemimpin suku yang menyelenggarakan upacara syukuran biasanya menjadi pemimpin tarian Gawi atau yang disebut Ulu. Jika dia berhalangan dapat diwakilkan kepada orang lain.

Pemimpin Gawi itu biasa disebut dengan ungkapan, Ulu Tau Pido Pu’u, yang artinya pemimpin yang mengatur jalannya tarian Gawi. Ulu memberikan aba-aba kepada para peserta tarian dengan menggerakkan tongkat yang berjumbai ekor sapi dengan tangan kanannya.

Orang kedua yang memimpin Gawi adalah Eko. Ungkapan yang ditujukan kepada Eko adalah Eko Tau Wio Wenggo. Eko berperan menjaga keberlangsungan tarian Gawi. Eko bertanggung jawab terhadap bebu ato iwa Gawi (Gawi itu ramai bersemangan atau tidak).

Eko melaksanakan aba-aba dari Ulu dengan menggerakan tongkat berjumbai ekor sapi ditangan kirinya. Kedua pemimpin itu dibantu oleh One atau Naku Ae.

One atau Naku Ae ini terdiri dari sekelompok pemuda yang berperawakan gagah yang bertugas memeriahkan Gawi. Dengan kepandaian menarikan Gawi, mereka berupaya agar seluruh peserta dapat ikut larut dalam kegembiraan bersama dalam tarian itu.

Artikel ini disadur dari majalah Warta Flobamora/edisi X, September 2013