Ende  

Asa Melki Laka Lena untuk Monumen Film di Ndona

Avatar photo
GAGARG

Anggota DPR-RI dari Partai Golkar yang juga ketua DPD I Golkar NTT Emanuel Melkiades Laka Lena mengambil inisiatif besar untuk membangun monumen film di Ndona, Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). Inisiatif ini beralasan, karena film pertama yang diproduksi Indonesia mengambil tempat di Ndona.

“Film pertama di Indonesia adalah Ria Rago yang dibuat di Ndona pada 1923. Film Ria Rago tentu saja lebih tua dibandingkan film Loetoeng Kasaroeng produksi tahun 1926, yang selama ini diakui sebagai film pertama di Indonesia,” jelas Melki Laka Lena di sela-sela kunjungan ke Ndona, belum lama ini.

Melki mengatakan, sebagai putera Ende, dirinya berani mengambil tanggung jawab untuk bersinergi dengan sejumlah pihak yang bisa mendukung rencana pembangunan monumen dan prasasti historis untuk menandakan keberadaan film Ria Rago sebagai salah satu karya yang harus diapresiasi secara memadai. Dalam pembuatan film Ria Rago, banyak warga pribumi dilibatkan sebagai pemain.

“Kita perlu berbangga karena nenek moyang kita pada zaman itu sudah bisa menjadi aktor dan aktris yang baik. Buktinya, film Ria Rago diterima dunia film saat itu dan mendapatkan sejumlah penghargaan di Eropa,” ungkap Melki.

Menurut Melki, pembuatan monumen film di Ndona harus menjadi suatu gerakan penguatan literasi budaya untuk membangkitkan kembali potensi-potensi seni budaya yang bisa dikembangkan secara optimal. “Ende memiliki banyak sekali karya seni budaya yang bisa mendapatkan perhatian secukupnya kalau kita mampu melibatkan sejumlah pegiat seni dari Jakarta,” tegas Melki.

Inisiatif Melki Laka Lena tersebut disambut baik oleh sejumlah pihak di Ende. Salah satunya koordinator kelompok studi Ende Bergerak, Agustinus Tetiro. Menurut Gusti, sapaan Agustinus, pembangunan monumen film di Ndona adalah sebuah inisiatif awal sebagai motor kebangkitan produksi-produksi karya seni di Ende, terutama yang berbasis budaya.

“Kabupaten Ende kaya akan karya-karya seni budaya, baik itu seni musik, seni sastra, seni tari dan lain-lain. Pembangunan monumen film di Ndona tentu saja perlu dilihat sebagai semacam suatu pusat kebudayaan, yang bisa dibayangkan layaknya Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta, tempat para seniman dan masyarakat bertemu untuk berkarya, berlatih dan melakukan apa saja yang berkaitan dengan seni,” jelas Gusti, saat ditemui di Ende, Selasa (8/8/2023)

Gusti mengaku, saat ini banyak kelompok dan komunitas seni di Ende, namun mereka masih bergerak sendiri-sendiri dan minim bantuan dari pihak-pihak terkait. Dengan adanya monumen film di Ndona, komunitas-komunitas seni diharapkan bisa segera bersinergi dalam karya-karya seni.

“Kita patut berterima kasih, karena Melki Laka Lena mengambil tanggung jawab besar ini. Melki tentu saja memiliki koneksi yang kuat ke industri film dan seni di Jakarta,” terang Gusti.

 

Terkait film Ria Rago, Gusti juga mengapresiasi kerja kreatif komisi komunikasi SVD Ende yang sedang menggarap Ria Rago reborn. “Semoga pada saatnya nanti kita semua bisa menikmati karya yang bagus ini dalam suatu versi dan pembacaan yang lebih baru, yang selaras dengan kondisi zaman kita saat ini,” tandas Gusti.

Sebagai informasi, film Ria Rago merupakan karya dua misionaris SVD, Pastor Simon Buis, SVD dan Fr. Belthens, SVD, di Flores pada tahun 1923. Pater Simon dan Fr Belthens mendapatkan kesempatan belajar tentang film di Hollywood, Amerika Serikat, atas perintah uskup setempat saat itu.

Film etnografi berdurasi 110 menit itu memuat tulisan Belanda “plaats en tijde van het werkelijk gebeurde” dengan tempat dan waktu yang benar terjadi pada tahun 1923. Akan tetapi, film tersebut baru dirilis pada tahun 1930, sesuai dengan tanggal lolos sensor di Belanda.

Film Ria Rago dinilai unik dan bermakna etnografis yang sangat dalam, karena bercerita tentang kasus kawin paksa seorang gadis Katolik bernama Ria Rago dari Desa Nua Nellu (Ndona) dengan seorang pemuda bernama Dapo Doki, seorang Muslim dari Desa Rada Wuwu yang sudah berkeluarga.