Ende  

Bupati Ende Klarifikasi Soal Batasi Adat: Itu Urusan Mosalaki

Avatar photo
Bupati Ende Djafar Achmad
Bupati Ende Djafar Achmad

Bupati Ende Djafar Achmad memberikan klarifikasi terkait rencana Pemerintah Kabupaten Ende yang akan membatasi minuman keras tradisional Ende, “moke”, dalam upacara-upacara adat. Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah berniat membatasi waktu berlangsungnya upacara adat.

“Saya lihat tidak perlu atur itu adat. Adat dia punya hukum sendiri, dia punya struktur adat tersendiri, itu urusan mosalaki (pemangku adat – red),” kata Bupati Ende Djafar Achmad, Kamis, (8/6/23).

Advertisement
dpd ri
Scroll kebawah untuk lihat konten

Hal tersebut disampaikannya menanggapi Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Ketertiban Umum, Ketentraman masyarakat dan Perlindungan Masyarakat atau Trantibum, yang mengatur kedua larangan tersebut.

Pasal 85 Ayat 4 Ranperda Trantibum, berbunyi:

(4) Setiap orang yang menyelenggarakan acara pesta adat, pesta pernikahan, acara kenduri dan atau pesta lainnya dilarang:

a. menyediakan/menjual dan atau mengkonsumsi minuman beralkohol dan minuman oplosan lainnya disekitar tempat pesta;

b. menyelenggarakan pesta atau acara nikah, pesta adat, kenduri atau pesta lainnya berlaku jam malam dengan batas waktu pukul 24.00 wita malam;

Terkait keberadaan pasal-pasal tersebut, diakui Bupati Djafar, aturan itu dapat tertuang karena dirinya tidak membaca secara keseluruhan isi Ranperda Trantibum. Kesibukannya menjalankan tugas sebagai Bupati Ende menyebabkan ia tak dapat mencermati setiap pasal dalam Ranperda. “Saya tidak lihat itu, saya tidak baca semua (isi Ranperda),” akunya.

“Kalau saya tahu saya larang,” sambung Bupati Djafar.

Dirinya menjelaskan, adat telah memiliki hukumnya sendiri sehingga pemerintah tidak perlu masuk ke dalam urusan-urusan tersebut. Tanggung jawab mengurusi adat merupakan kewenangan pemangku-pemangku adat yang dalam masyarakat adat Ende disebut mosalaki.

Tugas pemerintah sebatas membantu para mosalaki agar adat atau budaya terus diwariskan sebab menjadi ciri khas dan kekuatan suatu daerah.

Oleh sebab itu, terangnya, visi pemerintahannya menjadikan adat sebagai salah satu fondasi dalam tiga batu tungku, adat, pemerintah, agama. Tiga kekuatan besar ini merupakan penopang utama yang diharapkan selalu berkolaborasi dalam pembangunan dan tidak saling mengusik satu sama lain.

“Saya lihat kita tidak perlu atur itu adat. Adat dia punya hukum sendiri, dia punya struktur adat tersendiri, itu urusan mosalaki”.

“Karena kekuatan kita tiga batu tungku, mosalaki adat, pemerintah, dan agama. Jangan saling anu, tidak boleh, kita harus saling menghormati,” sambungnya.

Atas kegaduhan yang ditimbulkan oleh pasal-pasal kontroversial tesebut dirinya telah menginstruksikan bawahannya untuk menambahkan pengecualian terhadap adat. Perubahan dalam Ranperda Trantibum masih bisa dilakukan sebab masih dalam tahap pembahasan dengan DPRD Ende.

“Dalam aturan kita itu (Ranperda Trantibum) memang tanpa terkecuali, itu masih dibahas. Saya sudah telepon untuk masukan (frasa) ‘kecuali pesta adat’ ” tuturnya. (ARA/EN)