Cerita Awal Bandara Ende: Hutang Lahan Bikin Bupati Nyaris Undur Diri

Avatar photo
Foto kondisi bandara Ende dahulu dan pelantikan H. J. Gadi Djou sebagai bupati Ende
Foto kondisi bandara Ende dahulu dan pelantikan H. J. Gadi Djou sebagai bupati Ende

Bandara Haji Hasan Aroeboesman, Ende, sekarang ini tengah melakukan pembangunan besar-besaran. Terminal bandara yang dibangun dengan anggaran Rp 85 miliar akan memastikan bandara kebanggaan warga Ende itu megah nan nyaman.

Siapa nyana, bandar udara yang dahulu susah payah dirintis pada masa-masa awal Kabupaten Ende akan berdiri dua lantai dengan fasilitas glamour. Dahulu, kala merintis bandara itu, bupati-bupati Ende dibuat ngos-ngosan dari mencari lahan apalagi anggaran. Salah satu bupati Ende bahkan nyaris undur diri kala menangani permasalahan bandara.

Advertisement
iklan
Scroll kebawah untuk lihat konten

Bandara Ende pertama kali digagas oleh bupati Ende pertama, Haji Hasan Aroeboesman. Pada masa ini selain menggagas dia juga berkontribusi dalam melobi warga Ende untuk pembebasan lahan.

Aroeboesman berhasil melakukan itu tetapi belum sempat melunasi ganti rugi, masa bhaktinya habis dan digantikan oleh Herman Josef Gadi Djou pada 1973. Sosok yang akrab disapa bupati Ema.

Namun, situasi Kabupaten Ende saat itu (masih Daerah Tingkat II) tidak bisa dibayangkan seperti sekarang. Kondisinya  amat susah bahkan melebihi apa yang bisa dibayangkan.

Cerita Ippi Bethan, Sekretaris Pribadi Bupati Ema saat itu, awal menjabat sebagai bupati Ende, Ema Gadi Djou langsung dihadapkan dengan posisi kas yang kosong. Sampai-sampai, invetaris di rumah jabatan bupati Ende sekalipun cuma telur beberapa butir.

“Awal beliau menjadi Bupati, sangat susah, waktu itu kas minus, bahkan kosong. Jadi beliau setengah mati. Pertama- tama beliau hampir putus asa,” kisah Ippi Bethan dalam 75 Tahun Sang Visioner H. J. Gadi Djou (hal. 114).  

“Ketika awal menjadi Bupati Ende, rumah jabatan bupati tidak punya inventaris satu pun. Jadi, semuanya beliau yang punya. Mulai dari piring, mangkok sampai hal yang kecil lainnya. Semua barang yang beliau bawa dari Kupang itu yang kemudian dipakai sebagai inventaris”.

Kondisi ini bikin bupati Ema bingung mau melakukan apa. Bupati Ema jadi sering marah-marah tanpa sebab. Sebagai bawahan mereka mengerti apa yang dia rasakan.

Belum selesai dengan urusan kas, suatu ketika warga pemilik lahan bandara datang menemui bupati Ende di kantor dan meminta pembayaran ganti rugi lahan. Sebagai sekretaris pribadi, Ippi Bethan ada di situ menyaksikan bagaimana bupati Ema harus menyelesaikan hutang tanpa kas daerah.

Hutang lahan bandara Ende mencapai Rp 32 juta, nominal yang tergolong besar saat itu.

“Saya sendiri saksikan, waktu itu, orang Ende datang tagih uang pembebasan lahan lapangan terbang H. Hasan Aroeboesman senilai 32 juta rupiah. Orang-orang datang dan duduk di kantor sambil tagih uang”.

Pembayaran yang diminta warga pemilik lahan tidak dapat diberikan.  Bupati Ema pulang ke rumah jabatan dengan perasaan yang nyaris putus asa.

Sampai di rumah jabatan dia lantas menulis surat kepada Gubernur NTT untuk berhenti menjadi bupati.

“Akhirnya pulang ke rumah jabatan, beliau mau kasih surat kepada Gubernur untuk berhenti jadi Bupati”.

“Jadi, karena situasi kas kosong, ketika ada penagihan utang lahan bandara dan inventaris kosong, beliau mau mengirim surat ke Gubernur untuk minta berhenti. Tetapi akhirnya beliau robek kembali.”

Syukurnya, surat pengunduran diri yang sempat ditulis bupati Ema itu ia robek kembali. Bupati Ema lantas berkomitmen menyelesaikan masalah pembebasan lahan bandara dan mulai mencari jalan keluar.

Bupati Ema kemudian bekerja sama dengan mantan bupati Hasan Aroeboesman untuk membuat kesepakatan dengan pemilik lahan. Kesepakatan pun berhasil dicapai. Kedua belah pihak menyepakati pembayaran ganti rugi lahan bandara Ende dibayar secara bertahap.

“Dalam masalah pembebasan lahan Bandar udara Hasan Aroeboesman itu, misalnya, beliau bekerjasama dengan mantan Bupati Hasan Aroeboesman. Beliau membuat kesepakatan bahwa uang yang ditagih itu akan dibayar secara pelan-pelan,” kenang Ippi.

Pembayaran ganti rugi pembebasan lahan bandara dilunasi bupati Ema dalam jangka waktu dua tahun dan proses pembangunan bandara pun dilanjutkan. (ARA/EN)