Dari Kapela Darurat Hingga Bangun Gereja: Cerita Pembangunan Gereja Boanawa

Avatar photo

Sore hari, tanggal 31 Januari 2020 umat Paroki Santo Donatus Boanawa, Kota Ende nampak riang. Mereka menari begitu lepas. Diiringi musik yang terus saja memacu, umat bersama para undangan riang gembira menikmati acara “Minu Ae Petu,” yang berlangsung setelah Peletakan Batu Pertama, pembangunan Gereja Santo Donatus.

Mereka seolah-olah tak ingat lagi akan lelah setelah seharian bekerja sebagai Panitia. Juga lupa esoknya harus bekerja lagi karena “Minu Ae Petu” diadakan dua hari. Umat nampaknya tak mau ambil pusing. Mereka terus saja menari.

Umat gembira sebab jerih payah mereka selama bertahun-tahun mulai mewujud. Sebentar lagi mereka akan memiliki Gereja, barangkali itu yang ada dibenak umat.

Seluruh umat Katolik tentu tahu, perjalanan membangun Gereja tidak pernah pendek cerita. Melulu panjang dan penuh perjuangan.

Semua bermula saat pertemuan para tokoh yang dimotori oleh Pastor Paroki Katedral Kristus Raja pada tanggal 26 Februari tahun 2012. Cerita Benediktus Djegho, Ketua Panitia Pembangunan Gereja, “pertemuan itu menginspirasi kami untuk membentuk Stasi Boanawa.”

Umat di Boanawa lalu membentuk Panitia untuk mempersiapkan pembentukan Stasi yang dilanjutkan dengan pembentukan Pengurus Stasi.

Pengurus Stasi yang baru terbentuk kemudian menginiasi pertemuan 4 lingkungan yang masuk dalam Stasi, untuk membangun Kapela darurat atau seadanya.

“Pada saat itu kita start di depan Rumah Misi yang sekarang sudah ada pagar itu,” kata Benediktus sambil menunjuk ke arah tempat tersebut.

Sekitar tahun 2013, Benediktus tidak ingat pasti, umat kemudian membeli tahan seluas 5000 meter (sekarang lokasi pembangunan Gereja Paroki St. Donatus).

“Ini tanah milik SVD kita beli, panjar waktu itu, sesudah itu SVD mengizinkan supaya Kapela itu pindah dari sana (Rumah Misi) ke sini (lokasi sekarang).”

Seluruh umat bahu membahu mempersiapkan dan melakukan pemindahan Kapela. Meratakan tanah dan membangun Kapela baru.

Pada tahun 2014 statusnya ditingkatkan dari Stasi menjadi Titik Pelayanan. Meskipun ada peningkatan status namun seluruh kegiatan masih tetap tunduk kepada Paroki induk yakni Paroki Katedral Kristus Raja.

“Tercatat ada beberapa Pastor yang mengabdi di sini dulu, artinya memberi pelayanan setiap Minggu. Ada Romo Dion, itu dulu Pastor Kapelan dari Paroki Kristus Raja. Setelah Romo Dion, ada Romo Feri,” Lanjut Benediktus, Romo Feri merupakan Pastor yang terakhir mengabdi dalam status Titik Pelayanan.

Status sebagai Titik Pelayanan melekat sejak tahun 2014 sampai dengan tanggal 3 November 2017.

Tanggal 4 November 2017, berdasarkan keputusan yang disampaikan oleh Uskup Agung Ende, statusnya ditingkatkan lagi dari Titik Pelayanan menjadi Quasi Paroki. Selain itu, Yang Mulia juga menunjuk Romo Domi Nong sebagai Pastor Quasi yang melayani seluruh kegiatan Pastoral secara permanen.

“Artinya, kita mulai memisahkan diri dari Paroki Induk.”

Pada tahun 2018 saat Romo Domi Nong memimpin dilakukan beberapa perubahan. Langkah pertama, melakukan reposisi kepengurusan mulai dari KUB (Kelompok Umat Basis) sampai dengan Pengurus Lingkungan. Selain itu dilakukan juga perubahan nomenlatur.

“Kalau sebelumnya itu Lingkungan 12, Lingkungan 13, Lingkungan 14, Lingkungan 15 A dan B. Pada awal 2018, nama-nama ini diubah menjadi Lingkungan 1, Lingkungan 2, Lingkungan 3, Lingkungan 4, dan Lingkungan 5.”

Dalam tahun itu juga Quasi Paroki Santo Donatus Boanawa dipercayakan sebagai panitia penyelenggara JPA (Jadi Pendamping Adik) Keuskupan Agung Ende. Kegiatan ini menjadi tonggak sejarah sebab lahan yang diratakan untuk kegiatan ini menjadi penguat motivasi umat untuk selanjutnya digunakan membangun Gereja.

Karena itu setelah kegitan JPA umat melakukan diskusi intens dengan Romo Domi Nong agar membuat draf pembangunan Gereja. Romo pun memberikan draft tersebut.

Benediktus ditugaskan mencari Konsultan Perencanaan untuk menerjemahkan draf yang sudah ada.

“Saya cari adik-adik yang profesinya sebagai Konsultan Perencana, yang berada di Lingkungan 1 waktu itu. Saya minta dia tolong desain. Jabarkan, terjemahkan, apa yang Romo mau ini.”

Paruh pertama tahun 2019, draf yang ada itu kemudian dipresentasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. “Presentasi yang pertama kepada DPP, sesudah itu kita perbaiki. Kita konsultasi dengan Romo Domi. Sesudah itu kita undang (lagi) DPP Katedral dan Quasi,” Lanjut Benediktus, hasil presentasi kemudian diterima.

Setelah draf pembangunan diterima, umat bergerak cepat dengan membentuk Panitia Pembangunan Gereja Santo Donatus Boanawa. Panitia yang terbentuk lalu melakukan perhitungan anggaran yang secara detail.

Ketika berbagai persiapan dirasa cukup, umat bersama Romo Nong bertemu dengan Yang Mulia Uskup Agung Ende. “Kita melaporkan bahwa rencana kita, awal tahun 2020 kita harus mulai membangun Gereja.”

Sesudah bertemu dengan Uskup Agung Ende para pengurus kembali dan membentuk lagi Panitia kecil yang bertugas melakukan sosialisasi ke KUB-KUB.

Berbagai persiapan yang terus dilakukan akhirnya membuahkan hasil. Pada 31 Januari 2020 terlaksana Peletakan Batu Pertama. Acara diawali dengan Misa Kudus dipimpin langsung oleh Yang Mulia Uskup Agung Ende, Mgr. Sensi Potokota.

Acara Peletakan Batu Pertama kemudian dilanjutkan dengan acara “Minu Ae Petu” dalam rangka penggalangan dana. Acara “Minu Ae Petu” diadakan dua hari, yakni tanggal 31 Januari hingga 1 Februari 2020. Sebab dana yang dibutuhkan untuk membangun Gereja Santo Donatus mencapai 3,7 Miliar.

Momen Peletakan Batu Pertama dan “Minu Ae Petu” merupakan tonggak sejarah penanda pembangunan Gereja Santo Donatus memulai pembangunan fisik Gereja.

Itulah sebabnya umat nampak riang gembira. Mereka berlenggak-lenggok ceria, sebab sebentar lagi akan memiliki Gereja. Gereja yang dibangun dengan jerih payah mereka. (Agustinus Rae/EN)