Karir dan Karya Bupati Ema

Avatar photo
H. J. Gadi Djou

Herman Josef Gadi Djou adalah salah satu Bupati yang pernah memimpin Kabupaten Ende. Ia merupakan Bupati Ende yang ketiga setelah Winokan dan Aroeboesman.

Gadi Djou dilahirkan dari keluarga sederhana di Ndona pada 4 April 1937. Ayahnya bernama Josef Tapo dan ibunya bernama Anna.

Herman Josef Gadi Djou atau akrab disapa Ema Gadi Djou (atau Ema saja) memulai bangku pendidikan di Verolg School (VVS) di Ndona. Setelah tamat VVS di Ndona, Ema melanjutkan sekolahnya ke SMP Frateran Ndao. Dari Frateran Ndao Ema melanjutkan pendidikan di SMAK Syuradikara.

Sejarah hidup Ema sejak kanak-kanak hingga masa tuanya, ditulis secara lengkap dalam buku, “75 Tahun Sang Visioner H. J. Gadi Djou (2012)” yang disusun oleh Natsi Koten, dkk. Buku ini merupakan rangkuman testimony dari kelurga, kerabat, dan orang-orang yang pernah bekerja bersama Ema.

Istri Ema Gadi Djou, Mia, yang ikut menulis dalam buku ini menceritakan, setelah lulus dari Syuradikara, Ema sempat 1 tahun mengajar di SMPK Wolowaru, sebelum pada tahun 1962 berangkat ke Jogja melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada.

Soal keberangkatan ke Jogja sebenarnya punya cerita menarik. Waktu itu tahun 1962, Keuskupan Agung Ende (KAE) mencari calon mahasiswa yang mau dibiayai kuliah dan diharapkan, bekerja di KAE setelah selesai. Atas persetujuan ayahnya, Yosef Tapo, akhirnya Ema dibiayai oleh KAE.

Pada bulan Juli 1965 Ema menyelesaikan kuliah di fakultas Ekonomi Pertanian di Universitas Gadjah Mada.

Pada tahun yang sama ia menikah dengan Maria “Mia” Aloysia Parera (sekarang Mia Gadi Djou). Keduanya menikah di Gereja Kota Baru, Yogyakarta.

Setelah itu pada 3 Juni 1965 Ema kembali ke Ende dan bekerja di Ikatan Petani Pancasila (IPP), Keuskupan Agung Ende. Ema diberi jabatan sebagai koordinator wilayah Lio dengan gaji Rp 50.

Karir Ema berlanjut di Kupang sebagai pegawai di Kantor Gubernur. Ema berangkat ke Kupang pada 1 Februari 1966 dan ditempatkan di divisi Ekspor Impor Crash Program dan merangkap sebagai Wakil Kepala Inspeksi Keuangan dan Pajak Daerah NTT.

Menempati jabatan ini Ema mendapat tantangan berat dari Gubernur Eltari. Ia harus mendapatkan 600 ton Kopra dalam waktu singkat. Setelah bekerja selama 3 bulan terkumpul 650 ton Kopra. Kopra yang yang dikumpulkan dikirim melalui 2 pelabuhan, yakni pelabuhan Ende dan Maumere. Inilah momen pertama kalinya NTT melakukan ekspor.

Setelah beberapa lama mengurusi ekspor NTT, Ema diangkat menjadi Kepala Bagian Ekonomi (waktu itu belum Biro), sekaligus menjabat sebagai Wakil Direktur Perusahaan Daerah, sekarang PD Flobamora. Ema juga dipercaya menjadi Kepala Inspeksi Pajak serta menjadi Sekretaris Badan CESS NTT.

Sebagai Kepala Inspeksi Pajak Daerah, Ema mendapat tantangan harus mampu menaikan Pendapatan Asli Daerah NTT. Untuk itu atas persetujuan Gubernur El Tari, Ema membuat terobosan penerimaan langsung ke wajib pajak.

Terobosan ini mendapat tantangan dari DPRD NTT, namun ia dibantu H. Umar Bajideh yang menyatakan bahwa hal tersebut dibenarkan dalam tata kerja pemungutan pajak dan ada aturan hukumnya. Karena itu terobosan ini berlaku sampai sekarang, dimana penagihan langsung oleh petugas pajak.

Sedangkan di CESS, (Customs Executive Support System) NTT yang diketuai Boeky, SH, Ema bahu-membahu menyusun Perencanaan Pembangunan NTT 25 Tahun ke depan dan NTT Dalam Angka. Untuk tugas terakhir itu, dikerjakan selama 3 bulan, kerja siang malam.

Kerja keras dan kepandaian Ema membuatnya menjadi salah satu anak kepercayaan Gubernur El Tari. Bahkan Ema, oleh Gubernur El Tari dipersiapkan menjadi Bupati Daerah Tingkat (Dati) II Ende.

Tahun 1967, menurut Mia Gadi Djou, Ema dibujuk oleh para tokoh Partai Katolik agar bersedia dicalonkan menjadi Bupati Ende. Ema yang masih polos dengan idealisme memajukan Ende, sekonyong-konyong menerima tawaran itu.

Bujuk rayu dan pernyataan dukungan ternyata muslihat belaka. Partai Katolik yang punya banyak kader di DPRD Ende ternyata belok haluan saat pemilihan. Ema hanya memperoleh 2 suara. Kalah telak!

Orang Ende di Kupang marah begitupun Gubernur El Tari. El Tari bahkan menyambar pertanyaan, DPRD Ende itu siapa, mengapa tidak pilih Ema. El Tari lalu menyimpulkan Ema perlu belajar lagi.

Tahun-tahun selanjutnya, selain di pemerintahan, peran Ema di partai Golkar juga mulai meononjol. Menurut Yohanes “Hany” Wadhi (hal 149), pada 1971 Ema dipercayakan memenangkan Pemilu 1971 di daratan Flores terutama Kabupaten Ende. Dalam Pemilu ini Golkar meraih kemenangan 70 %.

Tahun 1973 Bupati H. Hasan Aroeboesman selesai masa jabatan dan diadakan suksesi pemilihan bupati baru.

Pada pemilihan bupati 1973 Ema ditawarkan lagi. Akan tetapi kali ini nampaknya agak berbeda, Ema yang masih trauma atas pemilihan sebelumnya, tidak mau memasukan surat kesediaan sebagai syarat untuk dipilih DPRD.

Namun Gubernur El Tari berkehendak lain. Melalui Kadit Sospol, Ema diperintahkan segera memasukan surat kesediaan. Rupanya El Tari telah amat yakin Ema siap memimpin Kabupaten Ende. Ema akhirnya memasukan surat tersebut.

Ada 2 calon dalam pemilihan ini, Golkar mencalonkan Ema Gadi Djou bertarung dengan Jakob Keda yang dicalonkan Partai Katolik. Ema  menang dan terpilih menjadi Bupati Ende. Ema menjadi Bupati dalam usia masih muda yakni 36 tahun.

Hany Wadhi masih ingat dengan jelas momen pelantikan ketika Bupati Ema menyampaikan pidato. Ada dua pokok pikiran yang ia tekankan, pertama, ia katakan, “menjadi sorang pemimpin harus berani, bukan untuk memukul lawan sampai KO, tetapi berani untuk memutuskan berbuat sesuatu bagi kepentingan orang banyak.”

Kedua, “jika anda ingin membuat rencana kerja jangka pendek tanamlah jagung, jika anda ingin membuat rencana jangka panjang tanamlah pohon, jika anda ingin membuat rencana abadi didiklah bangsamu.” Dua pokok pikiran yang disampaikan dalam pidato pelantikannya inilah yang nantinya amat terasa dalam 10 tahun ia memimpin Kabupaten Ende.

Bupati Ema tidak pernah fokus pada urusan politik khususnya menjatuhkan lawan. Sebalik fokus berkarya dan turun langsung mengurusi masyarakat. Komitmen yang tertuang dalam dua pokok pikiran benar-benar terwujud dalam kepemimpinannya, apalagi tentang pendidikan, ia urusi bahkan hingga berakhir masa jabatan sebagai Bupati Ende. Bersambung… (Agustinus Rae/EN)