Ketat ke Adat, Longgar ke Pedagang Trotoar : Naskah Akademik Ranperda Tratibum Dipertanyakan

Avatar photo
Sidang Paripurna DPRD Ende dengan agenda pandangan fraksi tentang Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Ketertiban Umum, Ketentraman masyarakat dan Perlindungan Masyarakat (Trantibum), Selasa 6 Juni 2023
Sidang Paripurna DPRD Ende dengan agenda pandangan fraksi tentang Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Ketertiban Umum, Ketentraman masyarakat dan Perlindungan Masyarakat (Trantibum), Selasa 6 Juni 2023

Metode penyusunan Naskah Akademik atas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Ketertiban Umum, Ketentraman masyarakat dan Perlindungan Masyarakat (Trantibum) dipertanyakan sejumlah fraksi di DPRD Ende. Sorotan fraksi-fraksi di DPRD Ende terjadi lantaran Ranperda Trantibum yang tengah dibahas bersama pemerintah ditemukan banyak kontroversi.

Sorotan atas penyusunan Naskah Akademik dilakukan DPRD Ende setelah memperhatikan pasal-pasal dalam Ranperda Trantibum yang mengatur secara ketat dalam beberapa hal namun longgar terhadap hal-hal lain. Pengaturan paling ketat dirasakan pada sisi adat atau budaya sementara untuk persoalan lain seperti Pedagang Kaki Lima yang berjualan di trotoar bahkan untuk praktek perjudian diatur secara longgar.

Dalam pandangan fraksi yang disampaikan menanggapi penjelasan pemerintah (6/6/23), DPRD Ende menyoroti pengaturan yang terlampau ketat terhadap urusan adat sementara hal-hal lain seperti pengaturan berdagang di trotoar jalan bahkan mengenai perjudian tidak diatur secara jelas alias longgar.

Fraksi Partai Demokrat misalnya, menyoroti bahkan meminta pemerintah memperhatikan kembali pasal-pasal yang secara ketat mengatur urusan adat sebab urusan adat bukan kewenangan pemerintah. Sorotan ini menanggapi aturan dalam Pasal 85 Ranperda tersebut yang melarang semua minuman beralkohol dalam upacara adat (termasuk moke) dan membatasi waktu untuk upacara adat hingga pukul 24.00 wita.

Pengaturan yang terlampau ketat juga terjadi pada kearifan lokal lainnya yakni pengobatan tradisional yang dilarang dalam Ranperda Trantibum. Pelarangan terhadap pengobatan tradisional menjadi sorotan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang menganggap bahwa pengobatan tradisional merupakan hak asasi dan bagian dari budaya.

“Bahwa kepercayaan/keyakinan suatu hal baik agama maupun budaya menjadi hak asasi yang dijamin dalam pengaturan perundang-undangan. Terkait hal ini dalam pasal 84 ayat (1) huruf a dan b melarang setiap orang untuk melakukan praktek pengobatan tradisional dan kebatinan. Mohon penjelasan pemerintah,” pernyataan Fraksi Hanura DPRD Ende dalam pandangan fraksi yang diterima media ini (6/6).

Jika pengaturan ketat terdapat pada sisi budaya maka tidak demikian dengan pengaturan pada persoalaan-persoalan lain. Dalam Ranperda Trantibum, pengaturan terhadap persoalan berjualan di bahu jalan atau trotoar terkesan longgar dan tidak jelas.

Pasal 66 Ranperda Trantibum berbunyi larangan terhadap pedagang kaki lima berjualan di trotoar, namun pada Pasal 67 tertuang aturan membolehkan hal itu selama pedagang bertanggung jawab terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan. Ketidak-jelasan dan ambiguitas dua pasal ini menjadi sorotan Fraksi Amanat Keadilan Sejahtera.

“Tidak ada sinkronisasi uraian antara pasal 66 dan pasal 67 dalam Rancangan Peraturan Daerah ini, dimana pasal 66 melarang Pedagang Kaki Lima untuk berjualan di trotoar namun pada pasal 67 menguraikan Pedagang Kaki Lima yang menggunakan tempat dimaksud agar bertanggung jawab terhadap ketertiban, kebersihan dan menjaga kesehatan lingkungan,” ungkap Fraksi Amanat Keadilan Sejahtera.

Selain fraksi tersebut, Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga berpendapat yang sama bahwa pengaturan dalam pasal-pasal tersebut tidak jelas dan menimbulkan multi tafsir. Karena itu Fraksi PSI DPRD Ende meminta pemerintah mencermati kembali pengaturan pada pasal-pasal tersebut.

“Fraksi PSI meminta Pemerintah mencermati salah satu Pasal yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang berdagang, berjualan, berusaha dengan menggunakan bagian jalan/trotoar, halte dan tempat untuk kepentingan umum lainnya. Namun dalam Pasal yang lain, menyebut setiap pedagang yang menggunakan tempat berdagang sebagaimana diuraikan di atas harus bertanggungjawab terhadap ketertiban, kebersihan dan kesehatan lingkungan,” pernyataan PSI dalam pandangan fraksi.

Pengaturan yang tidak ketat juga ada dalam pasal mengenai praktek perjudian. Pasal yang mengatur perjudian ini dipertanyakan oleh Fraksi Hanura sebab dapat ditafsirkan bahwa praktek perjudian diperbolehkan sejauh tidak mengganggu ketentraman masyarakat.

“Mohon penjelasan pemerintah mengenai maksud dari Pasal 82 yang mengatakan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan segala bentuk kegiatan perjudian yang dapat mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat,” pernyataan Hanura dalam pandangan fraksi.

“Pengaturan tersebut menurut hemat fraksi HANURA menjadi multi tafsir. Pertanyaannya jika sebaliknya kegiatan perjudian dipandang tidak mengganggu ketertiban dan ketentraman masyarakat apakah diperbolehkan?,” sambung fraksi Hanura.

Karena ketidak-jelasan pengaturan yang terdapat dalam pasal-pasal Ranperda Trantibum, sejumlah fraksi di DPRD Ende mempertanyakan proses dan metode penyusunan Naskah Akademik.

Fraksi-fraksi di DPRD Ende seperti Gerindra dan PSI meminta penjelasan pemerintah mengenai metode pengumpulan data dan analisis data dalam penyusunan Naskah Akademik Ranperda. Fraksi Gerindra mempertanyakan, metode pengumpulan data yang dilakukan secara kualitatif melalui studi aturan, diskusi panel, seminar dan wawancara

“Sebagaimana kita ketahui bahwa penyusunan naskah akademik dilakukan dengan metode pengumpulan data dan analisis data. Metode pengumpulan data tersebut dilakukan secara kualitatif yaitu melalui studi kepustakaan atau kajian terhadap berbagai peraturan  terkait, diskusi panel, seminar dan wawancara. Mohon penjelasan pemerintah mengenai tahapan penyusunan Naskah Akademik Raperda,” ungap Fraksi Gerindra.

Selain Gerindra, Fraksi PSI juga menyangsikan proses penyusunan Naskah Akademik Ranperda Trantibum. Menurut Fraksi PSI di DPRD Ende, metode yuridis empiris atau sosiolegal merupakan penelitian yang diawali dengan penelitian normatif, dilanjutkan dengan observasi guna mendapatkan data faktor non hukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang diteliti.

Oleh karena itu fraksi tersebut meminta penjelasan pemerintah apakah penelitian-penelitian sebagai syarat penyusunan Naskah Akademik telah dilakukan. Fraksi PSI bahkan menyangsikan penelitian tersebut telah dilakukan oleh pemerintah.

“Kegiatan penyusunan Naskah Akademik dilakukan melalui penelitian data sekunder dan wawancara dengan sasarannya adalah : Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Unsur Kecamatan, Pemerintah Desa dan/atau Perangkat Daerah terkait. Fraksi menyangsikan terhadap metode wawancara yang dilakukan dalam penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah ini,” ungkap PSI dalam pandangan fraksi. (ARA/EN)