Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Kisah Cinta Ema dan Mia Gadi Djou

Avatar photo
Herman Josef Gadi Djou (Ema) dan istrinya Mia Gadi Djou berdansa (foto: Facebook Lori Gadi Djou)
Herman Josef Gadi Djou (Ema) dan istrinya Mia Gadi Djou berdansa (foto: Facebook Lori Gadi Djou)

Minggu, 28 Agustus 2022, Maria Aloysia Parera Gadi Djou, istri mantan Bupati Ende Herman Josef Gadi Djou berpulang ke pangkuan Ilahi. Kepergian Mia Gadi Djou meninggalkan kenangan manis bagi orang-orang terkasih.

Beberapa saat setelah ia dinyatakan meninggal, putranya, Lourentius Gadi Djou menulis, “Waktu muda mereka berdansa, ketika tua mereka tetap berdansa, sekarang mereka sudah berdansa di surga”. Lori, sapaan akrab Laurentius, menulis itu sembari memajang foto keduanya berdansa saat masih muda dan kala mereka berusia senja.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Memang, sosok Mia tidak bisa lepas dari Herman Gadi Djou, pribadi yang dikenal masyarakat Ende dengan Bupati Ema. Mia sudah mendampingi Ema sejak mereka muda dan menjadi tandem yang kalem bagi sosok yang dikenal keras nan disiplin itu.

Menurut Abraham Gampar, kerabat keduanya, Mia dan Ema pertama kali bertemu pada 1963 saat keduanya menempuh pendidikan di kampus. Mia studi di Sekolah Hakim dan Jaksa di Solo sedangkan Ema mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pertemuan kedua terjadi di acara tutup tahun yang diadakan Solo.

“Suatu saat menjelang Tahun Baru 1963, kami diundang untuk perayaan Tahun Baru di rumah Bapak Bernadus Pallus di Solo. Saya mengajak kak Ema untuk turut dalam acara itu,” tulis Abraham Gampar dalam 75 Tahun Sang Visioner H. J. Gadi Djou, 2012, hal. 55.

“Kak Ema sepakat untuk dini hari tanggal 31 Desember berjalan ke Solo menggunakan Kereta Api”.

Abraham Gampar sendiri tak jadi berangkat lantaran ketinggalan kereta hanya Ema tetap berangkat mengikuti acara itu. Di acara itulah pertama kalinya Ema dan Mia bertemu muka, tulisnya, yang menjadi lembar pertama dalam buku cinta mereka.

Nampaknya ada hal yang lolos dari pantauan Abraham, dia tak mengetahui bahwa Ema sebenarnya telah merencanakan keberangkatan ke Solo, tetapi bukan karena kota itu indah atau acara tutup tahun melainkan karena ada Mia di sana. Siapa nyanya ternyata Ema sudah mengenal Mia jauh sebelum hari itu.

Diceritakan Mia Gadi Djou, dia dan Ema sudah lama berkenalan karena Ema adalah teman dari kakaknya, Tote Parera. Keduanya sering bertemu saat Ema pulang libur di Ende, biasanya mereka jalan-jalan atau makan-makan.

“Sebagai mahasiswa yang datang dari Jawa untuk berlibur, Ema cukup dikenal karena setiap sore pasti Ema bermain bola. Biasanya siang sekitar jam 11.00 kami bertemu untuk makan mie atau sate, dan biasanya kami jalan bertiga, si Ema, teman saya Yo Benge, dan saya,” cerita Mia (hal.25).

Setelah itu Mia melanjutkan studi di Sekolah Hakim dan Jaksa di Solo. Suatu ketika Mia main ke Yogya menyambangi temannya yang juga dari Ende, kehadiran Mia diketahui oleh Ema yang lantas pergi mencarinya. Mereka pun bertemu di Stasiun Kereta Api walaupun sebentar saja karena Mia hendak kembali ke Solo.

Setelah pertemuan itu keduanya bertemu lagi di Solo saat acara tutup tahun 1963, Mia sendiri melukiskan pertemuan ini dengan indah. “Pertemuan pertama kali kami di Yogya terjadi di Stasiun Kereta Api. Kami bertemu kembali tahun 1963, tepatnya saat tahun baru, gantian si Ema datang lagi ke Solo”.

Usai pertemuan di acara tutup tahun Ema kembali mengajak Abraham mengunjungi Mia di Solo, kali ini secara khusus untuk menyatukan dua hati. Hubungan pun terjalin dan keduanya saling mengunjungi atau berkirim surat.

Pacaran ala Ema dan Mia sejatinya sama dengan kisah asmara khas kaula muda, apalagi tipikal Ema yang keras tentu bikin bumbu cerita mereka berseliweran. Pernah terjadi, cerita Abraham, Ema marah besar gara-gara Mia melangar kesepakatan yang telah dibuat. Ternyata mereka bersepakat tak saling mengunjungi saat Ema fokus ujian, kesepakatan itu terbentur jadwal Mia yang sudah memasuki masa liburan.

“Benar saja, bukan disambut dengan senyuman oleh kak Ema malah dengan amarah karena kak Ema berpegang teguh pada kesepakatannya untuk tidak diganggu saat itu,” cerita Abraham.

“Mengatasi situasi demikian saya bangun dan berkata, ‘kalau begitu saya antar pulang kak Mia ke terminal kembali ke Solo’ “, sambungnya.

Mendadak Abraham mempunyai solusi untuk mengantar Mia bukan ke terminal melainkan ke losmen di dekat asrama mereka menunggu Ema selesai ujian. Abraham saat itu yakin Ema akan menyesal dan pasti mencari Mia. Dan betul saja prediksi Ambraham, begitu ujian selesai, penyesalan pun menghampiri Ema dan dia langsung mencari-cari Mia di asrama.

“Mulanya saya menjawab kak Mia sudah ke Solo, tetapi kak Ema tidak percaya dan saya mengatakan dengan jujur bahwa kak Mia bersama kami di sini. Setelah mereka bertemu, kak Ema menyampaikan permohonan maaf atas kemarahannya lalu membawa kak Mia pergi untuk mengantarnya ke Solo dan berdamai saat itu”.

Layaknya remaja pada umumnya, Ema juga sering mengunjungi Mia di Solo dan mengajaknya jalan-jalan atau makan-makan. Mia menuliskan Ema sebagai pribadi yang tidak pelit dan sering mentraktirnya serta teman-teman.

Suatu ketika kekonyolan terjadi saat Ema main ke Solo, cerita Mia. Saat itu dia datang dengan modal pas-pasan dan berharap Mia memiliki duit untuk ongkos pulang. Memang, aku Mia, sejak berpacaran jika menyangkut uang mereka saling bantu tetapi masalahnya saat itu Mia juga lagi kere.

Begitu datang, teman-teman Mia menyambut Ema dengan memesan makanan dan minuman. “Si Ema kebingungan, mau bayar dengan apa?… Kalau ingat kejadian itu, kami sering tertawa, mengingat bagaimana ekspresi si Ema waktu itu,” tulis Mia.

Kisah asmara mereka berlanjut hingga ke pelaminan. Ema dan Mia Gadi Djou menikah pada tahun 1965 di Gereja Kota Baru, Yogyakarta. Menurut Abraham Gampar, singkatan nama mereka diberikan kepada putri pertama mereka, Emmi: Ema dan Mia.

Masih di tahun yang sama mereka pulang ke Ende dan memulai kehidupan baru. Mengenai kehidupan di Ende, Mia Gadi Djou bercerita, awalnya mereka meniti karir dari nol karena itu kehidupan rumah tangga mereka amat sulit khususnya ekonomi. Mereka masih tinggal di rumah orangtua Mia sebab gaji Ema sebagai koordinator Ikatan Petani Pancasila (IPP) masih Rp 50. Mereka saling menguatkan menjalani situasi yang nampaknya masih jauh dari kata mapan itu.

Namun tak ada badai yang tak reda, beberapa waktu berselang Ema dikenalkan oleh Bung Kanis Pari kepada Wakil Gubernur NTT saat itu El Tari. Pertemuan yang nantinya membawa Ema ke puncak karirnya ini terjadi pada bulan September 1965 saat kunjungan Menteri Perkebunan Frans Seda. Satu tahun berselang El Tari yang telah menjadi Gubernur NTT memanggil Ema ke Kupang dan mempercayakannya berbagai posisi penting. Ema berhasil menjadi orang kepercayaan El Tari dan karena itu diorbitkan menjadi Bupati Daerah Tingkat II Ende.

Kehidupan ekonomi memang membaik tetapi ada tertulis makin tinggi pohon makin kencang angin bertiup. Jabatan yang diemban dalam berbagai posisi ternyata tak lepas dari tantangan, dan lagi-lagi keduanya kembali saling menguatkan satu sama lain.

Misalnya saja saat Ema kalah telak dalam pemilihan Bupati Ende 1967 atau ketika awal menjabat sebagai Bupati Ende pada 1973 dimana posisi kas daerah minus terlilit hutang, keduanya tegar dan berhasil melewatinya sebagai pemenang. “Banyak tantangan tetapi semua dihadapi dengan tenang,” tulis Mia.

Ikatan yang kuat diantara mereka membuat segala sesuatu dilewati secara bersama-sama layaknya dua orang yang sedang berdansa. (ARA/EN)