Ende  

Mahfud Ajak Warga Ende Lawan Radikalisme Pakai Wacana, Bukan Hukum

Avatar photo
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Mahfud MD, berbicara dalam dialog kebangsaan dalam rangka memperingati Harlah Pancasila, Kota Ende (1/6/23)
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Mahfud MD, berbicara dalam dialog kebangsaan dalam rangka memperingati Harlah Pancasila, Kota Ende (1/6/23)

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengajak masyarakat Ende untuk melawan gerakan radikalisme menggunakan wacana, bukan aturan-aturan hukum. Dikatakan Mahfud MD, perlawanan melalui wacana lebih efektif menghadapi situasi saat ini dimana tidak semua nilai-nilai Pancasila dapat dituangkan ke dalam aturan-aturan hukum.

Selain itu, perlawanan melalui wacana dikatakannya efektif untuk menghindari penyalah-gunaan aturan hukum.

Hal itu dikatakan Mahfud MD dalam dialog kebangsaan yang diselenggarakan usai dirinya memimpin Upacara Hari Lahir Pancasila di Kota Ende, Kamis, 1 Juni 2023. Dijelaskan Mahfud MD, radikalisme merupakan permasalahan yang masih menggerogoti bangsa Indonesia sampai saat ini dan bukan perkara mudah untuk mengatasinya.

Dikatakan Mahfud, untuk memahami persoalan radikalisme, masyarakat perlu terlebih dahulu memahami dua fungsi Pancasila. Pertama, Pancasila sebagai dasar negara dan kedua, Pancasila sebagai Nilai Moral Bangsa. Pada sisi pertama itu terdapat aturan-aturan hukum untuk melawan radikalisme, namun pada sisi kedua, yakni nilai-nilai, tidak semua nilai Pancasila dapat dituangkan ke dalam aturan hukum.

Pancasila sebagai Dasar Negara memiliki fungsi menjadi sumber dari segala sumber hukum, tutur Mahfud. Maksudnya, Pancasila merupakan acuan atau pijakan dari segala aturan hukum yang berlaku di negara Indonesia, mulai dari UUD 1945 hingga aturan terendah di tingkat desa.

Nah, karena itu maka untuk mengatasi permasalahan radikalisme telah diatur beberapa aturan yang dapat dikenakan kepada siapapun. Aturan-aturan hukum itu bersifat mengikat sehingga dapat dipaksakan kepada siapapun jika melanggarnya.

Pada sisi ini penerapan hukum untuk melawan gerakan radikalisme dapat dilakukan dengan mudah karena telah dituangkan secara jelas apa saja bentuk-bentuk pelanggaran, sanksi, serta lembaga-lembaga pelaksana hukum.

“Nah, kalau hukum sih gampang, ada orang yang melanggar ya beritahu pak Bupati, beritahu pak Kapolda, beritahu pak Polisi itu pelanggaran hukum. Kenapa harus dihukum, karena melanggar hukum itu melanggar Pancasila,” ucap Mahfud MD (1/6/23).

Namun, tidak demikian jika ditilik dari sisi kedua yakni Pancasila sebagai Nilai Moral Bangsa. Pada sisi ini terdapat banyak sekali nilai-nilai luhur Pancasila yang belum atau tidak dapat dijabarkan melalui aturan-aturan hukum.

Nilai-nilai Pancasila seperti budaya, etis, atau kesusilaan, merupakan nilai yang hidup di dalam keseharian masyarakat. Nilai-nilai itu belum atau tidak dapat dituangkan ke dalam aturan hukum sehingga jika terjadi pelanggaran terhadapnya maka tidak dapat diselesaikan secara hukum.

Kendati nilai-nilai Pancasila itu belum dituangkan ke dalam aturan hukum, setiap orang di Indonesia wajib merawat dan tunduk terhadapnya sebab merupakan bagian dari Pancasila itu sendiri.

“Tetapi ada (pengertian) Pancasila sebagai Moral Bangsa, itu belum menjadi hukum”.

“Ada (nilai) Pancasila yang belum menjadi hukum, misalnya sopan santun. Kesusilaan itu banyak yang belum menjadi hukum, tetapi kita harus tunduk terhadap nilai-nilai Pancasila itu yang bukan hukum, seperti nilai moral dan nilai etik,” sambungnya.

Nah, jika terjadi pelanggaran pada sisi ini oleh kaum radikalisme maka aturan-aturan hukum tak dapat dikenakan bagi pelanggar. Mahfud mengingatkan bahwa asas yang berlaku di Indonesia adalah asas legalitas sehingga jika terjadi pelanggaran terhadap sesuatu yang belum diatur maka tidak dapat dikenakan sanksi hukum terhadapnya.

Dirinya mencontohkan permasalahan radikalisme yang dilakukan oleh organisasi Hizbut Tahrir Indonesia atau sering disingkat HTI. Terhadap organisasi tersebut pemerintah hanya dapat menerapkan sanksi hukum administrasi dalam bentuk pembubaran dan pelarangan organisasi.

Sementara untuk aktifitas para anggota HTI seperti berceramah atau sebagainya, sepanjang tidak mengajak untuk melawan negara, tidak dapat dihukum oleh pemerintah. Hal tersebut, kata Mahfud, dikarenakan belum ada aturan hukum yang mengaturnya.

“Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia itu adalah pembubaran melalui hukum administrasi, bahwa organisasi itu tidak boleh ada. Nah kalau orang-orangnya masih mengemukakan, melakukan pengajian, melakukan apa, sejauh tidak mengajak menentang negara, hanya berwacana, itu tidak bisa dihukum. Bukan anu, bukan kita setuju, tetapi memang apa hukumnya?”.

Terhadap hal ini, sambungnya, perlawanan terhadap radikalisme hanya efektif melalui adu wacana di publik dan terus membumikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Wacana dibutuhkan untuk selalu mengingatkan dan merawat nilai-nilai luhur Pancasila sehingga masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh paham-paham radikalisme. “Nah, itu tugas kita membumikan Pancasila, bukan pakai hukum”.

Mahfud juga menegaskan, perlawanan melalui aturan hukum justru malah berbahaya sebab aturan hukum bisa saja digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu termasuk oleh kaum radikalis.

“Kalau pakai hukum hanya karena berbeda itu nanti bapak atau kita semua, suatu saat bisa kena juga, dikriminalisasi… kalau mereka (kaum radikalis) kebetulan menang di suatu daerah, di suatu pemerintahan, dan sebagainya,” ucap Mahfud MD. (ARA/EN)