Mari Longa : Perang Koloni I

Avatar photo

Mari Longa adalah salah satu pejuang yang melawan penjajahan Belanda. Ia berasal dari Watunggere, Detukeli, kabupaten Ende-NTT.

Peperangannya melawan penjajahan Belanda dimulai sejak 1893 hingga tahun 1907. Secara garis besar perlawanannya ini dapat dibagi ke dalam 5 bagian (Perang Koloni I hingga V).

Semuanya tercatat dalam buku karya Servas Mario Patty, dkk, berjudul, Perang Mari Longa 1893-1907 (2001). Dan barangkali, hanya dalam buku ini kisah tentang Mari Longa dijelaskan secara utuh, sejak kanak-kanak hingga peperangannya melawan Belanda berakhir.

Selain agar setiap generasi tidak kehilangan sejarah, buku ini juga dibuat sebagai salah satu cara menghantar Mari Longa dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional.

Karena itu, hingga kini, Pemda Ende selalu berupaya misalnya dengan menggelar upacara Hari Pahlawan Nasional di Watunggere.

Watunggere merupakan tanah kelahiran Mari Longa. Di tempat inilah ia memulai belajar tentang segala sesuatu. Memanah, bela diri, dan berbagai kecakapan lainya.

Mari Longa dikenal ditempat ini sebagai seorang pemimpin yang cakap. Ia juga memiliki kelebihan karismatik lain, seperti mampu menyembuhkan orang sakit dan ilmu kekebalan tubuh.

Kelebihan yang terakhir itu membuat masyarakat menjuluki Mari Longa, “Watu Mite Leu Lowo, Ae Bere Iwa Sele, Tebo Kai Topo Doga, Mbendi Iwa Bo” (Mari Longa adalah seorang pemberani dan penakluk segala jenis senjata).

Mari Longa Muda

Marilonga dilahirkan kurang lebih sekitar tahun 1859 di Watunggere, kecamatan Detukeli, kabupaten Ende. Ia adalah putra sulung dari Longa Wora dan ibunya Kemba Kore. Ayahnya adalah seorang panglima perang dan penjaga persekutuan Nida.

Pada mulanya Longa Wora memberi nama putranya ini bukanlah Mari Longa melainkan Leba Longa. Nama “Leba” diambil dari nama sayur (Paria) yang sangat pahit rasanya. Nama Leba diberi agar putranya memiliki sifat yang tegas di kemudian hari.

Namun, Leba Longa dari hari ke hari tumbuh sebagai anak yang cengeng dan sakit-sakitan. Inilah alasan namanya diganti.

Niat mengganti nama ini semakin kuat ketika ayahnya, pada suatu saat mendapat petunjuk melalui mimpi, agar mengganti nama putranya tersebut dengan nama Mari Longa. Mari berasal dari nama sejenis pohon yang pahit rasanya dan berkulit amat keras.

Maka direstuilah nama Mari Longa melalui suatu upacara adat.

Marilonga dididik di lingkungan keluarga yang disiplin. Di masa kecilnya, pada usia kira-kira 4 tahun, Mari Longa sudah belajar memanah. Busur yang digunakan dirangcang khusus sesuai kemampuan anak-anak.

Kemampuan Mari Longa sudah terlihat sejak kecil. Ketika bermain perang-perangan dengan anak-anak sebaya, ia selalu unggul maka selalu menjadi pemimpin di antara mereka.

Pada usia delapan tahun, Mari Longa sudah terbiasa berburu di hutan bersama orang-orang desa dan, pada usia ini pula ia mulai belajar bela diri.

Memasuki usia muda, pemuda Mari Longa dikenal sebagai pengembara. Dari ujung Flores bahkan hingga pulau-pulau terdekat di Nusantara.

Dalam serangkaian perjalanan inilah Mari Longa pertama kali berjumpa dengan kekejaman Belanda. Mari Longa muda amat berang! Namun keadaan belum sempurna untuk memulai sesuatu dengan Belanda.

Pengembaraan Mari Longa harus diakhiri setelah memasuki masa pelaminan. Ia menikah dengan seorang gadis bernama Nderu Ndoki.

Selain Nderu Ndoki, ia juga memiliki enam orang selir bernama, Kapi Mbipi, Weti Nduru, Fai Bilo, Weti Atu, Tidhu, Aru, Atu, dan Bela Badjo.

Perang Koloni I (1893-1897)

Pada tahun 1893, Belanda yang telah menguasai Maumere mulai menyisir pengaruhnya ke daerah-daerah sekitar hingga ke wilayah .

Mari Longa secara terang-terangan menyatakan perang melawan Belanda.  Ia juga menolak membayar upati (pajak) kepada Belanda.

Belanda marah! Maka tergenapilah syarat-yarat untuk memulai sesuatu yang tak terlupakan dengan Mari Longa. Di sisi lain, Mari Longa juga menanti hal itu.

Maka terjadilah perang Koloni I selama empat tahun, pada 1893 hingga 1897, di Bhoasia dekat Ndondo.

Bhoasia merupakan basis pertahanan Mari Longa yang pertama. Tempat ini kala itu masih padang rumput yang amat luas. Itulah sebabnya Perang Koloni I sering disebut sebagai Perang Padang Rumput.

Selama beberapa tahun, pasukan Belanda berguguran dalam Perang Pada Rumput. Ana Fua, pasukan Mari Longa bertempur dengan dua cara, melalui strategi gerilya dan perang terbuka.

Bila sedang menggunakan cara gerilya maka Ana Fua, akan menyerang diwaktu-waktu tak pasti. Paling sering di malam hari, ketika Belanda lengah. Selesai membantai mereka balik ke hutan.

Selain itu Mari Longa dan pasukannya, Ana Fua (pasukan lebah) juga melakukan perang terbuka atau secara langsung, berhadap-hadapan dengan Belanda.

Belanda yang, minta ampun berangnya karena tak mampu mengalahkan Mari Longa kemudian mendatangkan pasukan dari Kupang dan Jawa.

Tambahan pasukan dari kedua daerah itu tiba di Maumere untuk melumpukan pertahanan Marilonga di Bhoasia, pantai Utara Flores. Pada 1897 pasukan besar ini tiba di Ndondo.

Tak lama berselang Belanda menyerang.ke Pertahanan Mari Longa. Hujan peluru pun terjadi.

Pasukan Belanda terlalu banyak. Arteleri pun lengkap. Melihat situasi itu Mari Longa mengambil langkah cekatan. Ia membagi Ana Fua: sebagian besar diperintahkan lari ke hutan dan beberapa orang ikut dirinya menyerahkan diri.

Melihat Mari Longa dan beberapa orang menyerah Belanda amat gembira. Mereka lega dan langsung membawa Mari Longa beserta beberapa Ana Fua ke Maumere. Tak sadar bahwa itu hanyalah siasat.

Mari Longa membagi sebagian besar Ana Fua ke hutan agar menyiapkan serangan balasan setelah ini. Karena itulah yang ikut dirinya menyerah hanya beberapa orang.

Mari Longa tahu, meskipun Ana Fua masih banyak tetapi karena dirinya menyerah maka Belanda pasti berpikir, perlawanan telah berakhir.

Dan benar saja, beberapa hari kemudian Mari Longa berhasil melarikan diri dan tiba lagi di Watunggere. Disaat yang sama, Ana Fua yang tadinya di hutan, juga telah menyusun serangan balasan.

Mari Longa langsung memimpin mereka melakukan serangan gerilya.

Belanda yang dibuat kelabakan segera menyusun strategi penangkapan Mari Longa. Kali ini strategi Belanda lebih halus, yaitu mengajak berunding.

Belanda memerintahkan kurir menemui Mari Longa menyampaikan niat itu. Tapi Mari Longa bukan tipe yang melawan penjajahan di atas meja. Ia tahu, perundingan hanyalah pembicaraan soal bayar pajak semata. Mari Longa tolak!

Mendengar laporan kurirnya, Belanda langsung melakukan rapat, membahas masalah Mari Longa di Watunggere.

Dalam keputusannya, rapat ini menyepakati Watunggere akan dikepung dan harus dikuasai. Apabila terjadi kondisi membahayakan maka kampung ini dibakar, agar pusat kekuatan Mari Longa lumpuh total.

Rapat juga memutuskan Mari Longa mesti ditangkap dan dibawa ke Ende sebelum ke Maumere. Menariknya, hasil rapat juga memutuskan Mari Longa tidak boleh ditembak mati dalam kondisi apapun.

Belanda menemukan kesulitan dalam penyerangan ini. Akses masuk ke Watunggere hanya satu, itupun jalan sempit. Berpikir keras, akhirnya diputuskan membawa pemandu jalan.

Pemandu jalan ini mengetahui kelebihan Mari Longa dan perkembangan gerakan Ana Fua. Bersama beberapa rekannya, mereka memang sering memasok informasi kepada Belanda.

Misi dimulai. Sebelum masuk Watunggere, terlebih dahulu Belanda mengirim mata-mata ke dalam Watunggere. Na’as, beberapa saat berselang datang informasi si mata-mata tewas oleh Ana Fua, bahkan sebelum masuk kampung.

Belanda kaget namun layar sudah berkembang. Tak mungkin mereka mundur.

Baru beberapa langkah memasuki pertahanan Mari Longa, satu serdadu terjatuh dan tewas seketika oleh anak panah Ana Fua. Kaget! Pemimpin operasi langsung berteriak serang. Peluru pun beterbangan membabi buta ke arah kampung.

Mari Longa sudah memprediksi hal itu, maka sebelumnya Ana Fua telah ditempatkan di lereng-lereng bukit dan semak-semak, bukan perkampungan. Dengan demikian, mereka enteng menyergap serdadu Belanda dari persembunyian.

Serdadu Belanda berguguran dalam operasi ini. Terpukul oleh strategi Mari Longa, serdadu lainnya kembali ke Ende. Kecewa. (Bersambung)

Agustinus Rae