Mengapa Joki Kuda di Ende Mayoritas Anak SD

Avatar photo
Para joki memacu kuda saat balapan, diperkirakan di saat pacuan kuda berlangsung di Jalan Kelimutu, Kota Ende (Foto: Arsip keluarga Lius Kato)
Para joki memacu kuda saat balapan, diperkirakan di saat pacuan kuda berlangsung di Jalan Kelimutu, Kota Ende (Foto: Arsip keluarga Lius Kato)

Pacuan kuda sudah sudah menjadi bagian dari sejarah perkembangan Kota Ende. Olahraga ini jadi primadona dan pusat keramaian sekitar tahun 1967 hingga 1983. Menariknya, penelusuran media ini menemukan bahwa para joki atau pebalap kuda saat itu bukanlah kalangan pemuda, melainkan anak-anak usia Sekolah Dasar atau SD.

Pebalap seperti Pala Ahmadu, Lius Kato, hingga Chris Lengo merupakan siswa SD saat menjadi pebalap di arena pacuan kuda.

Advertisement
iklan
Scroll kebawah untuk lihat konten

Pala Ahmadu masuk arena sebagai joki saat dia masih duduk di bangku kelas 3 SD, begitupun Yulius Kato rekan seangkatannya di arena pacuan Ippi. Yunior mereka Chris Lengo malah masuk area balapan kuda saat dia masih kelas 2 SD.

Anak-anak dipilih sebagai joki bukan tanpa alasan melainkan ada sebabnya, dan itu sangat menentukan hasil akhir balapan.

Menurut Lius Kato, anak-anak usia SD dipilih karena berat badan yang ringan. Hal itu menentukan karena berhubungan kelincahan dan kecepatan kuda saat balapan. Semakin ringan tubuh joki maka makin enteng kuda berlari begitupun sebaliknya.

“Kalau badan kita (joki) ringan, kuda itu makin laju. Tetapi kalau terlalu berat nanti kuda setengah mati, tidak lincah,” jelasnya (2/12/21).

Kala itu, sambungnya, mencari joki kuda di kalangan anak-anak SD tidak terlalu sulit sebab mayoritas teman seusianya bisa menunggangi kuda. Kuda merupakan alat transportasi sehari-hari dan karena itulah anak-anak SD, yang penting memiliki kuda, pasti mengetahui cara menunggang.

Lius sendiri merupakan anak dari keluarga yang memiliki banyak kuda. Dua kuda mereka yang sering diikutkan lomba bernama Awas Jopu dan Malu-malu. Awal menjadi joki, kata Lius, dikarenakan pacuan kuda merupakan trend yang menjadi buah bibir masyarakat saat itu. Dia lalu tertarik dan mulai menekuni pacuan saat duduk di bangku kelas 3 SD.

Postur Lius yang cocok sebagai pebalap kuda amat membantu saat dia tampil setiap tahun di arena pacuan berbentuk lingkaran di Ippi. Lius  sempat menjadi juara di kelasnya kendati tidak pernah menjadi Juara Umum.

Hal yang sama juga diutarakan teman seangkatannya di pacuan Ippi, Pala Ahmadu. Kata Pala Ahmadu (5/12/21), posturnya yang kecil menjadi salah satu penentu keberhasilannya lomba. Penunggang kuda Merah Kaju Karo ini bercerita, postur kecilnya saat itu amat membantu ketika menunduk memacu kuda. Alhasil, dia menjadi jawara pacuan kuda di Ippi dengan raihan dua kali Juara Umum.

Begitupun dengan Chris Lengo, penyabet penghargaan joki teladan saat pacuan berlangsung di Jalan Kelimutu.  Chris masuk arena balapan ketika masih duduk di kelas 2 SD. Dia dipercaya menunggangi kuda karena posturnya yang ringan.

Kata Chris, posturnya saat itu membuatnya fleksibel ketika berada di atas kuda. Di sisi lain, kuda yang dia joki, Bunga Bakung, bisa mengeluarkan kecepatan optimal karena posturnya yang ringan. Perpaduan itu menjadikan dia berhasil menyabet penghargaan sebagai joki teladan.

Penuturan para mantan joki kuda, faktor postur berlaku umum atau di arena pacuan di manapun. Namun tekan mereka, postur hanyalah salah satu faktor selain bakat, keberanian, dan skill joki itu sendiri. (ARA/EN)