Ine Pare (Ibu Padi) merupakan mitologi asal mula Padi yang diyakini oleh masyarakat Lio, Kabupaten Ende.
Kisah Ine Pare beserta makna dan fungsinya dijelaskan secara menarik oleh Maria Bali Larasati dalam bukunya, Ine Pare Dalam Komunitas Etnik Lio (2018).
Dalam bukunya, Bali Larasati menemukan bahwa kepercayaan ini tetap bertahan terhadap perubahan. Sekalipun penduduk Lio mayoritas sudah menganut agama Katolik, ritual penyembahan kepada Ine Pare dan siklus pertaniannya masih hidup sampai sekarang.
Kisah Ine Pare menjadi pijakan dari tahapan ritual adat sejak Ngeti Uma (buka ladang baru), Paki Tana-Tedo Pare (penanaman padi), Ka Poka (panen padi), hingga Mi Are (santap nasi baru).
Dalam masyarakat Lio, menurut Bali Larasati, kisah Ine Pare (cerita asal usul Padi) memiliki tiga versi, yakni, versi Ine Mbu, Boby no’o Nombi, dan Ana Kalo.
Ine Mbu (Ibu Mbu)
Mbu merupakan salah satu anak dari sepasang suami-istri yaitu Raja dan Kaja. Dahulu kala mereka tinggal di Nua Ria tanah persekutuan Ndori.
Raja (ayah Mbu) merupakan adik Konde dan Ratu. Konde adalah penguasa danau Kelimutu, Ratu adalah penguasa Mutu Busa (anak danau Kelimutu), sedangkan Raja sendiri adalah penguasa Keli Samba.
Ketiga bersaudara itu dimitoskan sebagai kelompok manusia raksasa atau titisan Dewa Penguasa di daerah Lio.
Setelah Raja menikah dengan Kaja, mereka mempunyai tiga orang anak, Ndale putra sulung, Mbu putri tunggal dan Sipi putra bungsu.
Suatu ketika terjadi bencana di seluruh daratan Lio, yang disebut dengan Ae Mesi Nuka Tana Lala. Akibat bencana alam ini, maka perkampungan Raja dan Kaja menjadi dangkalan.
Raja dan Kaja sekeluarga akhirnya mengungsi. Mereka sekeluarga mengungsi di Keli Mbape, dan di tempat ini Raja meninggal dunia.
Nama Keli Mbape kini disebut juga Kolo Kaja. Kaja juga akhirnya meninggal di Nua Kaja.
Setelah kematian kedua orangtuanya, Ndale, Mbu, dan Sipi harus hidup mandiri. Atas pertimbangan bersama, mereka memutuskan pindah.
Daerah yang selanjutnya mereka tinggali adalah tanah persekutuan Mbengu, yang sekarang dikenal dengan sebutan Mase Ndale, Koja Ndale atau Nanga Ndale.
Ketika Mbu, Ndale, dan Sipi pindah ke Mase Ndale penduduk setempat masih makan serbuk kayu yang sudah lapuk atau disebut fata mewu. Perasaan mereka gundah gulana melihat peristiwa itu.
Suatu hari ketika Mbu mencari kayu bakar di tempat yang berawa-rawa, saat itu tangan Mbu terluka. Darah dari tangan Mbu pun berjatuhan ke lumpur.
Setelah itu tumbuhlah padi di tempat yang terkena darah dari tangan Mbu. Hal semacam ini sering terjadi dan menjadi rahasia ketiga bersaudara.
Dari hari ke hari kehidupan mereka membaik dan jauh lebih makmur dibanding penduduk lain. Sementara itu percobaan pemeliharaan Padi terus dilakukan secara diam-diam.
Makmurnya hidup ketiga bersaudara itu menjadi tanda tanya besar bagi penduduk sekitar. Warga di sekitar penasaran, apa rahasia dibalik kemakmuran mereka? Sayang, sekalipun didesak ketiganya tetap bergeming menyimpan rahasia.
Desakan dari warga sekitar lambat laun berubah menjadi ancaman yang begitu nyata. Ketiga bersaudara akhirnya memutuskan pindah.
Mereka mengungsi ke Watu Kaka di Paga dan terus berkelana jauh meninggalkan tanah persekutuan Mbengu.
Tempat-tempat yang mereka lintasi adalah tanah persekutuan Bu, Mbengu, Mego, dan pinggiran barat kerajaan Nita yaitu Koro dekat sungai Endo yang bermuara di Nanga Mbawe.
Untuk menghindari tanah persekutuan Lise, dari wilayah Nita Barat mereka berperahu melewati tanjung Watu Manu dan Tanjung Sada menuju Ndondo. Tempat singgahan mereka di Ndondo dikenal dengan nama Ndondo Naka Taka.
Dari sini mereka terus menuju wilayah gunung Membu Toro agar sampai ke Keli Koja dan Keli Lima agak ke timur menjadi Ndota Keli Lima. Perjalanan mereka erat hubungannya dengan daerah-daerah agraris.
Untuk memberi rasa keadilan kepada orang Lise, Mbu bersama dua saudaranya akhirnya melintasi tanah persekutuan Lise Kurulande. Ini sebabnya ada istilah Lande Wolomage yang berkaitan dengan upacara berladang.
Setelah itu ketiganya berpisah. Mbu dan Ndale menuju Keli Koja, sementara Sipi mengambara menyebarkan Padi ke arah timur mulai dari Kowe Longgo.
Perjalanan Mbu dan Ndale menuju Keli Koja dilakukan untuk memenuhi panggilan Mbu sebagai Ine Pare (Ibu Padi). Mbu akan dikorbankan di tempat itu.
Sesungguhnya Ndale tidak tega mengorbankan adiknya, namun demi kepentingan banyak orang dan atas ilham yang diterima oleh Mbu maka upacara pengorbanan jadi tak terhindarkan.
Perjalanan menuju Keli Koja masih jauh namun entah mengapa Ndale ingin mempersembahkan Mbu di tempat mereka beristirahat. Ndale meminta kepada Mbu sebanyak tiga kali tetapi ditolak oleh Mbu.
Perjalanan pun dilanjutkan hingga tibalah mereka di Keli Koja. Kedua bersaudara beristirahat sejenak sebelum melakukan upacara pengorbanan.
Ndale berat hati namun seperti telah dikatakan, ini merupakan suatu keharusan, apalagi demi kepentingan orang banyak.
Akhirnya upacara pengorbanan dilakukan. Mbu meratap dengan suara lantang!
“…Ratu neku mbale dowa awu
Fara mbale dowa tana
So aku peno dewa no’o nebo
Pida no’o bita, ngere embu rara
Kobe lima rua aku tei tondo
Wula telu aku te’a, wula sutu aku nuka nua
Soi renggi aku tei nei
Sa ripi, sa buku, sa laru
Beke kau tango
Nuwa kobe nuwa leja”
Diterjemahkan:
“… Badanku menjadi abu
dagingku menjadi tanah
walaupun aku menjadi kotoran
dilumuri lumpur bagaikan nenek tua
namun tujuh malam aku tumbuh
Tiga bulan aku matang, empat bulan aku masuk kampung
Siapa mengangkat menonggak aku
Aku menunduk karena padat isinya
Beke jaminlah
Akar bulirku mekar siang dan malam”
Setelah Mbu selesai meratap ia pun dipersembahkan.
Agustinus Rae
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.