Peralihan Sistem Kekuasaan di Ende : Raja Jari Jawa Hingga Bupati Winokan

Avatar photo
Istana Kerajaan Ende dan Bupati Ende pertama, Mauritz Gerardus Winokan
Istana Kerajaan Ende dan Bupati Ende pertama, Mauritz Gerardus Winokan

Peralihan sistem kekuasaan di Ende memang menarik untuk ditelusuri. Dari sistem kekuasaan itulah generasi hari ini dapat mengetahui lika-liku perjalanan Ende hingga menjadi sebuah kabupaten.

Dahulu kala, istilah “kabupaten” sama sekali tidak dikenal orang Ende. Pada masa sebelum penjajah Belanda, secara sosial, politik dan ritual, baik orang Ende maupun orang Lio hidup secara independen di kampung-kampung dalam suatu persekutuan adat. Mereka dipimpin oleh masing-masing penguasa adat.

Advertisement
iklan
Scroll kebawah untuk lihat konten

Cerita mengenai sistem kekuasaan raja baru muncul sekitar abad ke 15. Satosi, dalam naskah sejarah Flores mengemukakan, pada masa itu terdapat sebuah kerajaan di Ende. Pendiri kerajaan Ende adalah seorang pria dari Jawa yang menikahi puteri tuan tanah Ambu Nggo’be.

Mengenai hal ini, Muhamad Murtadho dalam artikel, Jejak Kerajaan Islam Ende (Jurnal Lektur Keagamaan, 2015) mengungkap bahwa si pria adalah Jari Jawa, yang bernama asli Raden Husein Djajadiningrat.

Jari Jawa mendirikan Kerajaan Ende berpusat di Ambu Tonda dengan dia sendiri sebagai raja pertama.

Murtadho menganalisa, Jari Jawa bisa diangkat menjadi raja karena jasanya memimpin penyerangan atas Portugis di Pulau Ende pada 1630. Atau, bukan saja karena dia adalah menantu Ambu Nggo’be.

“Kalau tidak didasari peristiwa besar, dimana Jari Jawa memainkan peran penting, rasanya secara akal di manapun akan sulit seorang pendatang dengan mudah menjadi raja lokal,” tulis Murtadho (hal, 244). Karena itu Murtdho memperkirakan Kerajaan Ende dibangun sekitar tahun 1630.

Suku Nggobe bertindak sebagai pelaksana acara pelantikan Jari Jawa. Pelantikan Jari Jawa sebagai raja Ende disetujui oleh para penguasa dalam tanah persekutuan Rowo Rena dan para pendatang seperti Mosa Pio serta teman-temannya. Hadir pula 40 Mosalaki dari pembesar-pembesar Lio.

Dari Jari Jawa, estafet kepemimpinan Kerajaan Ende beralih ke Jua (Sarjua), kemudian Rhema. Setelah itu Mbake Pare, Langi, Matoro, Inderadewa, Aroeboesman, Pua Noteh, Pua Menoh, dan terakhir Hasan Aroeboesman.

Setelah raja Jari Jawa, pemimpin Kerajaan Ende selalu mendapat tantangan dari luar. Masuknya pengaruh Belanda secara perlahan membatasi kekuasaan raja Ende. Belanda bahkan mengangkat raja baru untuk menguasai Lio.

Pada masa pendudukan Belanda di Flores selama kurun waktu 1907-1945, wilayah administrasinya dikenal dengan Afdeeling Flores yang beribukota di Ende. Afdeeling Flores memimpin wilayah administrasi dibawahnya yang dikenal dengan sebutan, Onderafdeling.

Dibawah Afdeeling Flores terdapat 5 Onderafdeeling, yakni Onderafdeling Ende, Onderafdeling Ngada, Onderafdeling Manggarai, Onderafdeling Maumere, dan terakhir Onderafdelig Larantuka (Bupati Ende dari Masa ke Masa, 2011).

Onderafdeeling Ende beribukota di Ende dan membawahi 2 Swapraja yaitu Ende dan Lio.

Ada sisi penting dari politik sentralistik kekuasaan Belanda tersebut. Yakni, dari sinilah hubungan administrasi kekuasaan antara Ende dan Lio, yang sebelum masuknya Belanda melulu terpisah dan mandiri, mulai terhubung dan menyatu.

Selanjutnya, pada masa kemerdekaan, sistem kekuasaan di Ende menggantung kepada para pemimpin bangsa. Sistem kekuasaan pemerintah kolonial diganti secara perlahan. Onderafdeling nantinya menjadi Kabupaten.

Mulanya, pada 19 Agustus 1945, dua hari setelah proklamasi, dibentuk beberapa propinsi. Diantaranya Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Seluruh wilayah Flores termasuk dalam Sunda Kecil.

Namun saat itu arogansi Belanda yang enggan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya menyebabkan terjadi perundingan. Dua perudingan penting di tahun 1946, perundingan Malino dan Denpasar, menyebabkan terbentuknya Negara Indonesia Timur atau NIT.

NIT merupakan negara bagian dari NIS (Negara Indonesia Serikat) dengan wilayah meliputi Sulawesi dan Sunda Kecil. Tentu saja termasuk Flores di dalamnya.

Dalam perjalanannya, pada 27 Desember 1949 dilakukan penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia. Dengan berlakunya Staatblad NIT 1950 nomor 5 dan 6 pada 1 Oktober 1950 maka secara dejure dihapuslah keresidenan beserta wilayah administrasinya, yakni afdeling dan onderafdeling.

Sedangkan para asisten residen tetap menjalankan tugasnya membina daerah-daerah swatantra sebagai federasi swapraja yang telah dibentuk sejak 1946, sampai daerah swantantra itu dapat berjalan sendiri. Karena itu, berdasarkan Staatblad 1950 dibentuk tiga daerah yakni Daerah Flores, Sumba dan Timor.

Dengan demikian, terbentuklah Daerah Flores yang otonom dengan kepala daerah dan perwakilan rakyat daerahnya sendiri. Daerah Flores beribukota di Ende dengan kepala daerah bernama L.E. Monteiro.

Sejak 1950, saat kepemimpinan Monteiro, berbagai upaya penguatan kedaulatan melalui struktur pemerintahan dilakukan pemimpin bangsa. Pada 1957 misalnya, atas usul Muhamad Yamin, nama Sunda Kecil yang berbau kolonial diubah menjadi Nusa Tenggara.

Setelah itu diterbitkan UU Darurat nomor 1 tahun 1957 yang membagi Propinsi Nusa Tenggara ke dalam 3 Swatantra. Swatantra tingkat I Bali, swatantra tingkat I NTB dan swatantra tingkat I NTT.

Lebih jauh lagi, eksistensi Swatantra tingkat I NTT diperkuat dengan dengan UU nomor 64 tahun 1958 tentang “Pembentukan Daerah Tingkat II”.

Aturan tersebut melahirkan 5 kabupaten di wilayah Timor termasuk Alor, 2 kabupaten di Sumba dan 5 kabupaten di Flores. Semua kabupaten diresmikan pada 13-14 Desember 1958 (Bupati Ende dari Masa ke Masa, 2011:25).

Dengan demikian, pemerintahan Daerah Flores yang dipimpin Monteiro, secara resmi dibubarkan pada tanggal 14 Desember 1958.

Selanjutnya pada 20 Desember 1958, wakil koordinator Nusa Tenggara, A.S. Pello atas nama Mentri Dalam Negeri, meresmikan berdirinya Propinsi NTT dengan ibukotanya Kupang. Sejak saat itu Kabupaten Ende menjadi salah satu kabupaten di NTT lengkap dengan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Mauritz Gerardus Winokan menjadi bupati pertama Kabupaten Daerah Tingkat II Ende. Winokan mendapat tugas tersebut berdasarkan keputusan Departemen Penerangan nomor 0205/CS/59/63, tanggal 17 Januari 1963.

Winokan menjabat sebagai bupati Ende hanya beberapa tahun. Pada 1967, akibat penyakit kanker usus yang ia derita, Winokan terpaksa melepas jabatannya karena dipanggil Sang Khalik. (Agustinus Rae/EN)