Ende  

Rencana Perpanjang Runway Bandara Ende Dihentikan

Avatar photo
Pesawat Hercules tipe C-130 mendarat mulus di Bandar Udara Haji Hasan Aroeboesman, Kota Ende, Selasa 4 Agustus 2020
Pesawat Hercules tipe C-130 mendarat mulus di Bandar Udara Haji Hasan Aroeboesman, Kota Ende, Selasa 4 Agustus 2020

Rencana perpanjangan runway (landasan) Bandara Haji Hasan Aroeboesman, Kota Ende, dipastikan tidak dilanjutkan. hal tersebut disebabkan beberapa kendala fisik dan tingkat kebutuhan masyarakat Ende atas transportasi udara yang masih rendah.

Sebelumnya, rencana perpanjangan runway bandara Ende dilakukan pada tahun 2017. Pelaksanaan rencana sempat bergulir hingga proses lepas lahan milik warga yang bermukim di sekitar bandara Ende. Proyek tersebut menghabiskan anggaran negara sebesar Rp 8 miliar sebagai ganti rugi lahan milik warga.

Advertisement
iklan
Scroll kebawah untuk lihat konten

Namun, kendati telah melakukan proses lepas lahan, kelanjutan program tersebut tidak dapat dilanjutkan. Penuturan Kepala Bandara Haji Hasan Aroeboesman, Indra Priyantono (28/7/22), program perpanjangan runway bandara Ende telah dinyatakan tidak dilanjutkan.

Kata Priyantono, atas beberapa pertimbangan yang urgen, dirinya selaku kepala bandara telah menyampaikan kepada Pusat bahwa rencana tersebut tidak dapat dilanjutkan.

“Sudah saya nyatakan tidak ada perpanjangan bandara,” ucapnya (28/7).

Perpanjangan bandara Ende, sambungnya, tidak dilanjutkan karena memiliki beberapa kendala fisik, anggaran, hingga tingkat kebutuhan masyarakat atas transportasi udara yang masih rendah.

Kendala fisik yang dimaksud Priyantono mengenai pemukiman warga yang berdempetan langsung dengan area bandara. Jika program tersebut dilanjutkan maka pemukiman warga di sepanjang Simpang Lima hingga kantor Dinas Perhubungan Ende harus dibebaskan. Wilayah itu akan menjadi safety area karena didarati pesawat-pesawat besar.

“Kalau mau dilakukan perpanjangan maka seluruh pemukiman warga dari Simpang Lima hingga Dolog harus digusur semua. Harus habis, bersih tidak ada rumah. Kenapa, karena akan dipakai untuk pesawat yang lebih besar maka dibutuhkan area safety yang lebih luas”.

Kendala fisik lainnya adalah bukit di area Dolog yang terletak persis di ujung runway bandara. Bukit itu harus dibongkar berbentuk divergen karena akan menjadi posisi landing yang aman bagi pesawat-pesawat besar.

Kendala itu, kata Priyantono, berhubungan langsung dengan besaran anggaran yang dikucurkan pemerintah. Untuk lepas lahan saja dirinya mengkalkulasi dibutuhkan lahan sekitar 21 hektar dengan perhitungan anggaran paling sedikit Rp 200 miliar.

Anggaran fantastis itu belum termasuk untuk membongkar bukit di area Dolog dan kebutuhan lain. Priyantono memperkirakan total biaya yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 2 triliun.

“Total lahan yang dibutuhkan 21 hektar. 21 hektar, kalau 1 meter persegi lahan itu harga Rp 1 juta maka dibutuhkan anggaran Rp 200 sekian miliar. Itu kalau harga Rp 1 juta, bagaimana kalau harganya Rp 2 juta per meter persegi”.

Kalau pun anggaran tersebut disediakan negara, sambungnya, masih terdapat kendala lain yaitu tingkat kebutuhan masyarakat Ende atas transportasi udara. Jika didarati pesawat berukuran besar tentu jumlah penumpang juga mesti menyesuaikan agar pihak maskapai tidak mengalami kerugian.

Sedangkan, di bandara Ende saat ini frekuensi penerbangan pesawat malah mengalami penurunan akibat penurunan jumlah penumpang. Saat ini bandara Ende memiliki frekuensi penerbangan 3 kali sehari dengan jumlah penumpang maksimal 250 orang. Padahal sebelumnya bandara Ende memiliki 4 hingga 5 frekuensi penerbangan per hari.

“Kemarin 5 kali, sekarang 3 kali, artinya apa, penumpang turun kan. Artinya kebutuhan masyarakat itu belum mendesak,” jelasnya.

Hal itu berbanding terbalik dengan rencana perpanjangan runway bandara yang bertujuan agar bisa didarati pesawat berukuran besar.

Dirinya menekankan, jika bandara Ende menjadi rute bagi pesawat-pesawat besar maka jumlah penumpang harian harus sesuai dengan perhitungan keuntungan maskapai dari rute tersebut. Jika tidak, dirinya memastikan, pihak maskapi akan mengalami kesulitan melayani rute penerbangan dari dan menuju Ende.

“Biaya ini (perpanjang runway bandara Ende) dibutuhkan Rp 2,1 triliun. Kalau toh bisa dilakukan sama negara melalui APBN demi pembangunan berarti nanti yang masuk adalah pesawat-pesawat besar, pertanyaannya, pesawat besar itu terbang ke mana. Kalau ke Bali, apakah bisa setiap hari 200 orang berangkat ke Bali dari Ende”.

Perpanjangan runway bandara Ende sebenarnya tidak mustahil, ucapnya, hanya memang belum bisa dilakukan sekarang mengingat jumlah penumpang harian belum mengalami peningkatan drastis.

Karena itu, dirinya selaku Kepala Bandara Ende, telah menyampaikan ke Pusat bahwa rencana perpanjangan runway bandara tidak dapat dilanjutkan. Lalu, mengenai lahan milik warga yang telah dilepas kepada pemerintah, secara otomatis menjadi tanah milik negara.

“Total Rp 8 miliar dan tanah-tanah itu menjadi tanah negara,” tutupnya. (ARA/EN)