Sempat Ikut Soekarno Tinggal di Ende, Ini Perjuangan Cinta Inggit Ganarsih

Avatar photo
Keluarga Bung Karno di Rumah Pengasingan Kota Ende

“Aku menciumnya. Dia menciumku. Lalu aku menciumnya kembali dan kami terperangkap dalam rasa cinta satu sama lain. Dan semua itu terjadi selagi ia masih istri dari Sanusi dan aku suami dari Oetari,” tutur Bung Karno kepada Cindy Adams seperti yang dikisahkan dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Wanita yang dicium Bung Karno itu bernama Inggit Ganarsih. Dan itu adalah momen pertama dari cerita cinta mereka yang panjang. Mereka kemudian menikah dan Inggit setia mendampingi Bung Karno termasuk saat masa pembuangan di Kota Ende.

Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada 17 Februari 1888.

Semula ia terlahir dengan nama Garnasih: dari kata hegar (segar menghidupkan) dan asih (kasih sayang). Sedangkan nama Inggit, mulai digunakan sejak dia kecil karena beberapa kejadian unik yang selalu berkaitan dengan uang seringgit.

“Sejak itulah aku diberi nama, atau katakanlah disebut orang-orang di rumah pada mulanya, si Ringgit, dan kemudian menjadi si Inggit, sebutan yang lebih manis kedengarannya,” kata Inggit dalam Soekarno: Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan K.H.

Saat masih remaja, Inggit adalah kembang desa di kampungnya. Si bunga desa itu akhirnya dipersunting oleh Nata Atmaja, seorang patih di Kantor Residen Priangan. Namun, pernikahan ini tidak bertahan lama karena perceraian.

Kemudian, Inggit menikah lagi. Seorang pengusaha yang juga aktif di organisasi Sarekat Islam bernama Haji Sanusi yang menyuntingnya. Penikahan tak berjalan mulus lantaran Sanusi terlampau sibuk. Apalagi, setelah kedatangan Bung Karno.

Bung karno, yang kala itu masih berumur 21 tahun tiba di Bandung untuk melanjutkan kuliah setelah lulus dari Hogere Burger School (HBS) di Surabaya.

Ketika itu, seperti ceritanya kepada Cindi Adams di atas, Bung Karno tidak lajang lagi. Ia punya istri bernama Siti Oetari, putri kesayangan bapak kost-nya di Surabaya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Namun, rasa cinta Bung Karno terhadap Oetari lebih seperti cinta kepada saudara. Fondasi yang amat rapuh untuk memulai suatu pernikahan. Karena itulah saat indekos di tempat Inggit di Bandung, Bung Karno menemukan hal lain yang mendebarkan hatinya.

Ketika indekos di tempat Inggit, Bung Karno sering berinteraksi dengan Inggit, dan semakin akrab, hingga terjadilah peristiwa romantis yang tertulis pada awal tulisan ini.

Bung Karno kemudian menceraikan Oetari, begitu juga Inggit yang secara resmi berpisah dengan Sanusi. Keduanya lalu menikah di rumah orangtua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung.

Setelah menikah Inggit berperan besar mendorong Sukarno menyelesaikan kuliahnya, yang nyaris terbengkalai akibat aktivitas politik.

Mereka, bersama Ratna Djuami (Omi) yang diangkat sebagai anak, hidup berpindah-pindah kontrakan, sampai akhirnya mereka mendapatkan rumah dengan harga terjangkau di daerah Astana Anyar.

Untuk menunjang ekonomi, pasangan itu membuka indekos murah untuk beberapa anak muda, kebanyakan kader politik Bung Karno. Inggit yang lebih banyak berperan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, menghidupi diri, keluarga, serta suaminya dengan berjualan jamu, bedak dingin, dan rokok kawung lintingan dan bungkusan.

Ketika Bung Karno ditangkap di Yogyakarta pada 29 Desember 1929 dan dijebloskan ke Penjara Banceuy di Bandung lalu dipindahkan ke Sukamiskin, Inggit tidak pernah lelah memberikan semangat kepada suaminya itu.

Kala menjenguk Bung Karno di penjara Inggit kerap menyelipkan uang di dalam makanan yang dibawanya. Uang itu untuk digunakan Bung Karno membujuk penjaga membelikannya surat kabar.

Selama Bung Karno dibui Inggit juga menjadi perantara suaminya agar bisa terus berhubungan dengan para aktivis pergerakan nasional lainnya. Untuk menulis pesan dari Sukarno, Inggit memakai kertas rokok lintingan.

Inggit kala itu memang berjualan rokok buatan sendiri. Rokok yang diikat dengan benang merah, khusus hanya untuk para relasi suaminya, yang di dalamnya berisi pesan-pesan dari bung Karno (Peter Kasenda, Bung Karno Panglima Revolusi, 2014).

Inggit juga sering membawakan buku-buku yang dibutuhkan Sukarno meskipun harus berhati-hati agar tidak ketahuan penjaga. Caranya, seperti yang dikutip dari buku Biografi Inggit Garnasih: Perempuan dalam Hidup Sukarno karya Reni Nuryanti (2007), Inggit berpuasa dulu selama beberapa hari supaya buku itu bisa diselipkan di perutnya

Pada tahung 1934 Bung Karno dibuang ke Ende. Dan Inggit, tanpa ragu mengikutinya ke kota nan jauh ini.

Di Ende, Inggit tidak saja mendampingi tapi juga ikut dalam kegiatan favorit bung Karno, seperti Toneel Klub Kelimutu yang dibentuk si Bung Besar.

Seperti dikisahkan Riwu Ga (dalam Kako Lami Angalai: Riwu Ga, 14 Tahun Kawal Bung Karno), perang Inggit di Ende mencakup hingga menyelundupkan surat-surat bung Karno. Surat-surat itu biasanya diselundupkan dalam buah Labu.

Bila ada yang menjual Labu maka Inggit sudah mengerti. Buah Labu itu dibeli lalu membelahnya secara sembunyi-sembunyi takut diketahui mata-mata Belanda. Bekerja sama dengan dengan seorang warga keturunan Thionghoa di Ende bernama Ang Ho Lang, Inggit, mengatur distribusi surat dari dan kepada Bung Karno.

Pada 1938 bung Karno diasingkan lagi ke Bengkulu dan Inggit setia menemani.

Namun di tempat ini hati Inggit berangsur muram. Bung Karno mulai mengenal secara dekat Fatmawati, remaja putri, anak tokoh Muhammadiyah di Bengkulu bernama Hassan Din.

Inggit kesepian sebab bung Karno sibuk mengajar dan diskusi memperkuat semangat nasionalisme para pejuang di Bengkulu. Suatu akvitas yang semakin mendekatkan bung Karno dan Fatmawati karena sama-sama orang pergerakan. Tapi Inggit pandai menyembunyikan perasaan.

Pernikahan keduanya sempat bertahan hingga pertengahan tahun 1943 ketika mereka telah kembali ke Jakarta dan tinggal di Pegangsaan Timur. Tetapi perasaan dan niat Bung Karno -yang ingin mendapatkan keturunan- tak mungkin terbendung lagi.

Suatu hari dalam pertengahan tahun1943, datang tiga kawan bung Karno yaitu bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH. Mas Mansyur. Ketiganya datang mengurus perceraian bung Karno dan Inggit, setelah keduanya bersepakat pisah secara baik-baik.

Bung Karno lalu menikahi Fatmawati pada 1 Juni 1943. Sedang Inggit, telah kembali ke Bandung sebelum pernikahan itu terjadi.

Inggit menepi di Bandung untuk seterusnya dan selalu mengikuti perjalanan bung Karno dari kejauhan. Ketika Bung Karno wafat di Jakarta pada 21 Juni 1970 Inggit hadir mendoakan pejuang yang amat ia cintai itu.

Ia hadir dengan doa dan kepedihan mendalam tepat disamping jasad Bung Karno.

Inggit Garnasih meninggal pada tanggal 13 April 1984, dalam usia 96 tahun. (Agustinus Rae/EN)