Bernadus Gadobani: Catatan Politik Seorang Katekis

Avatar photo
(Alm) Bernadus Gadobani bersama istri tercinta, Maria Robert
(Alm) Bernadus Gadobani bersama istri tercinta, Maria Robert

Dini hari, tanggal 8 April 2018, seorang lelaki tua bangun dari tidurnya. Tubuhnya sedang sakit kala itu. Dia paksakan bangun. Ada sesuatu yang harus ia lakukan. Lelaki itu bangun mengetik pesan singkat (SMS) berisi renungan rohani kepada keluarga dan kerabat.

Itu adalah kegiatan rutin sejak dia memiliki Handphone. Setiap hari koleganya pasti dapat SMS rohani darinya. Malam itu, selesai mengirim SMS, si lelaki tua tidur kembali. Kata istrinya, tak ada yang menyangka itulah pesan rohani terakhir darinya.

Lelaki itu adalah Bernadus Gadobani, mantan ketua DPRD dan wakil bupati Ende.

Pada Mulanya Guru

Bernadus Gadobani lahir di Buugenda pada 8 Agustus 1950, putra kelima dari tujuh bersaudara, pasangan Mathius Bani dan Maria Dhede.

Tamat dari Sekolah Dasar Katolik Buungenda pada 1962, Gadobani masuk SMPK Detusoko dan tamat tahun 1965. Setelah itu, Gadobani melanjutkan studinya di SPGN Ende lalu tamat tahun 1968.

Tahun selanjutnya, dia kuliah pada Fakultas Hukum Undana Kupang Cabang Ende tahun 1969-1970, lalu di Institut Pastoral Indonesia (IPI) Malang dan tamat pada 1980. Pengaruh pendidikan yang diterima di IPI nantinya sangat mempengaruhi spiritulitas Gadobani.

Setelah itu Gadobani berkarir di dunia pendidikan. Gadobani mengawali karirnya sebagai guru agama Katolik di Flores Timur sejak 1975 hingga 1979. Pada 1980 Gadobani kembali ke Ende dan mengajar sebagai guru agama di Paroki Onekore.

Di Ende dia tercatat pernah mengajar  agama Katolik di berbagai sekolah seperti SMPN I Ende, SMPN II Ende, SMP Kelimutu, SMP Yos Sudarso, SMP Adhyaksa, SMEA Yos Sudarso, SMAN, PGAK, SMA Wirajaya, SPK, dan PTPM.

Rumah Tangga

Khusus saat mengajar di PGAK (Pendidikan Guru Agama Katolik) Ende, Gadobani tidak saja merintis karir sebagai guru, tetapi sekalian, dia rintis karir percintaan. Hati Gadobani kepincut oleh pesona Maria Robert, muridnya sendiri.

Maria Robert merupakan angkatan pertama sekolah PGAK sekitar tahun 1979, yang kala itu masih menggunakan gedung SMP Maria Goreti (Margot). Gadobani lalu meminta bantuan seorang teman memperkenalkanya dengan Maria Robert.

“Dia (Gadobani) minta temannya kasih kenal. Setelah itu dia kirim surat,” cerita Maria Robert, ketika diwawancarai (15/5/19).

Gadobani ternyata cukup lincah untuk urusan ini. Setelah dikenalkan dengan Maria Robert, dia tak butuh temannya lagi sebagai comblang. Praktis Gadobani main one man show.

Dua tahun menjalin hubungan asmara, Gadobani dan Maria Robert menikah pada 3 Oktober 1981. Awal menikah keduanya mengontrak rumah di Jalan Eltari, milik bapak Pit Puli. “(Perekonomian) kami terseok-seok waktu itu”, kenang Maria Robert.

Dua tahun berselang tepat pada 1983 keduanya pindah dan menempati rumah milik sendiri (hingga sekarang). Kondisi rumah saat itu seadanya, persis kondisi perekonomian. “Soalnya gaji hanya 150 kah, dan itupun gaji bapak (Gadobani) sendiri,” kata Maria Robert.

Namun kondisi itu tak menyurutkan kiprah Gadobani di ranah lain. Selain menjadi guru, Gadobani pada masa ini juga aktif dalam organisasi religius Katolik. Dirinya menjabat sekretaris Katekis Kabupaten Ende tahun 1980-1985. Keseharian di dua ranah tersebut berlangsung hingga di penghujung tahun 1980-an.

Memasuki tahun 1990 Gadobani dijemput ke dunia baru: Politik.

Dari PDI Hingga PDIP

Cerita bermula ketika PDI Ende tidak aktif menjalankan kegiatan. Saat itu PDI Ende dipimpin oleh Max Jen. Max Jen sebelumnya merupakan ketua Partai Katolik Cabang Ende, namun karena oleh Orde Baru (Orba) Partai Katolik dileburkan ke dalam PDI pada 1973, maka Max Jen melanjutkan kepemimpinan di PDI Ende.

Selama kepemimpinannya hingga 1990, PDI Ende dapat dikatakan “mati segan, hidup pun tak mau”. Kondisi ini tak disangka membuat beberapa pemuda di Ende gemas. Dua diantaranya adalah Yan Sehandi dan Lukas Lege. Mereka kemudian masuk dan mulai menggairahkan partai.

Kata Yan Sehandi (17/5/19), yang pertama dilakukan adalah restrukturisasi organisasi. Nah, dari agenda PDI Ende melengkapi pengurus inilah Gadobani ditarik. Kepengurusan hasil restrukturisasi tercatat, Max Jen sebagai ketua, wakil ketua I Yan Sehandi, wakil ketua II Lukas Lege, wakil ketua III Gadobani, dan wakil ketua IV Rofinus Dami. Sedangkan untuk posisi sekretaris ditempati Herman Uwa.

Pada pertengahan tahun 1991 Gadobani diangkat menjadi ketua menggatikan Max Jen. Kepengurusan yang terdahulu dipertahankan. Lalu, untuk mengisi posisi wakil ketua III yang ditinggalkan Gadobani, dimasukan nama Ruben Resi. Kepengurusan ini dilantik oleh sekretaris PDI Pusat Niko Daryanto pada 1991.

Memasuki tahun 1992 mereka menghadapi Pemilu. Ini Pemilu pertama dibawah kepemimpinan Gadobani. Kondisinya benar-benar payah. Modal PDI Ende hanyalah semangat para sarjana muda. Sedangkan soal cost politik, logistik, maupun persiapan kampanye tak memadai sama sekali. Belum lagi mereka menghadapi intervensi politik ala Orba.

Alhasil, Pemilu 1992 tak ada satu pun kader PDI Ende terpilih. Cerita Yan Sehandi, karena kecewa, para pengurus berkumpul di sekretariat PDI Ende (rumah Gadobani) lalu teriak-teriak marahi Orba. Gadobani hanya diam, kata Sehandi.

Tahun 1996 terjadi perpecahan PDI Pusat setelah kongres Medan, 20 Juni-22 Juni. Selanjutnya PDI pusat terbelah menjadi dua versi: PDI Soerjadi dan PDI Pro Mega. Gadobani dan seluruh DPC PDI Ende ambil sikap dukung Mega.

Tahun 1998 pecah reformasi. Kekuasaan Soeharto dan Orba rontok. Di tahun penuh pergolakan ini PDI-Pro Mega menyelenggarakan Kongres V di Bali, tanggal 8-10 Oktober. Dalam kongres tersebut, DPC PDI Ende yang diwakili ketua Gadobani hadir dan memenangkan Megawati secara aklamasi.

Satu tahun berselang, tepatnya 1 Februari 1999, Mega mengubah nama PDI versinya menjadi PDI perjuangan, seperti dilansir situs resmi PDI Perjuangan.

Pergolakan reformasi yang haus akan pemimpin baru, sungguh memantapkan popularitas Mega dan PDIP. Di tahun ini euforia dukungan terhadap Mega membumi di seluruh Indonesia. Di Ende, Gadobani bersama pengurus panen berlimpah-limpah.

Pada Pemilu 1999 PDI Perjuangan Ende menempatkan 13 kader duduk di kursi legislatif Ende, dari 30 kursi yang tersedia. Gadobani dan Lukas Lege diantaranya.

Lukas Lege menceritakan (19/5/19), sesudah 13 kader terpilih maka praktis tugas selanjutnya adalah menempatkan Gadobani sebagai ketua DPRD Ende. Pesaing Gadobani saat itu adalah Lipus Suna.  Gadobani menang dan menjadi ketua DPRD Ende periode 1999-2004.

Pada akhir masa jabatannya selaku ketua Dewan, Gadobani dilamar incumbent Paulinus Domi sebagai wakil bupati Ende. Gadobani dan PDIP Ende setuju. Maka jadilah mereka bukan lagi dua melainkan satu paket.

Proses pemilihan bupati dan wakil bupati Ende oleh DPRD terjadi pada Rabu, 21 Januari 2004. Pagi hari itu, Paulinus Domi dan Gadobani berkumpul di rumah Paulinus Domi. Mereka berdoa bersama sebelum menuju gedung dewan (Lukas Lege. Drs Paulinus Domi dan Bernadus Gadobani, B.A.: Memimpin Dengan Melayani, Membangun Ende Sare, 2005: 13). Dalam pemilihan, keduanya menang dengan perolehan 22 suara dari total 30 suara anggota DPRD Ende.

Paulinus Domi dan Gadobani kemudian dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Ende pada tanggal 7 April 2004 oleh gubernur NTT, Piet A. Tallo, berdasarkan SK Mendagri Nomor 131.63.246 Tahun 2004.

Kata istri tercinta, Maria Robert, kendati telah menjadi wakil bupati Ende Gadobani masih bergaul dengan masyarakat sekitar. Bahkan untuk Doa Rosario di sekitar Rujab wakil bupati sekalipun, Gadobani selalu ikut bila tak ada kesibukan ke luar daerah.

Persis pendapat Maria Robert, Yan Sehandi dan Lukas Lege juga menganggap Gadobani sebgai sosok ramah yang amat sederhana. Karakter sederhana Gadobani memudahkannya kembali ke masyarakat, setelah berakhir masa jabatan. Gadobani tidak perlu lagi tahap penyesuaian seperti pada umumnya dialami mantan pemimpin.

Setelah berakhir masa jabatan, Gadobani semakin aktif menjalani hidup sesuai niat, yang selama berkarya mesti ia tunda, yakni kegiatan rohani. Bersama istrinya, Maria Robert, Gadobani rajin mengikuti kegiatan rohani di lingkungan dan berdoa khusus misalnya Novena.

Gadobani juga sering mengirim SMS berisi pesan Kitab Suci setiap hari, kepada seluruh keluarga dan kerabat. Pesan-pesan rohani dikirim sekitar pukul 24.00 atau 01.00 WITA, sebagai renungan mengawali hari. Ini sudah dilakukan Gadobani sejak dirinya masih aktif di pemerintah, tepatnya sejak pertama kali memiliki Handphone.

Ketika usianya makin condong ke barat, pesan-pesan rohani tetap dikirim namun beda jam. Tidak lagi seperti dulu, yang harus menahan kantuk hingga dini hari. Gadobani memilih tidur pukul 22.00 lalu bangun pukul 02.00 WITA untuk menulis renungan rohani kepada para kolega.

Seluruh hidupnya ia upayakan sesuai dengan pengertian Katekis yang ia defenisikan. Katekis, menurut Gadobani, adalah seorang awam termasuk religius yang ditunjuk secara khusus oleh Gereja sesuai dengan kebutuhan setempat untuk memperkenalkan Kristus. Pengertian itu ditulis Gadobani dalam, Kepemimpinan Politik yang Beriman (2006: 89).

Dan Gadobani, memeluk erat komitmen itu hingga akhir hayatnya. Bahkan, beberapa jam sebelum kembali ke pelukan Yesus, Tuhannya, ia masih sempat mengirim SMS renungan rohani kepada kerabat dan keluarga.

Bernadus Gadobani meninggal pada 18 April 2018, dalam usia 68 tahun. (Agustinus Rae/EN)