Sejarah Pacuan Kuda di Ende: Berawal di Ippi, Berakhir di Eltari

Avatar photo
Seorang joki menunggangi kudanya, diperkirakan di arena pacuan berbentuk lingkaran di Ippi, Kota Ende (Foto: Arsip keluarga Lius Kato)
Seorang joki menunggangi kudanya, diperkirakan di arena pacuan berbentuk lingkaran di Ippi, Kota Ende (Foto: Arsip keluarga Lius Kato)

Mekanisme Perlombaan

Pacuan kuda di Kota Ende merupakan agenda resmi pemerintah merayakan hari besar kenegaraan. Selain pacuan kuda, pemerintah juga mengadakan pertandingan sepakbola dan lomba lain namun tentu saja pacuan kuda lomba paling ditunggu. Belum ada pertandingan yang setara keramaian pacuan kuda saat itu, kata Pala Ahmadu.

Penonton pacuan membludak dari warga kelas atas hingga warga biasa, dari warga kota hingga warga desa, semua berkumpul di sekitar arena. Faktornya, kata dia, pemilik kuda rata-rata kalangan kelas atas seperti pejabat, pengusaha, hingga mosalaki, sementara setiap kuda memiliki pendukung masing-masing yang rela datang dari desa. “Jadi mereka bertemu di sini. Ramai sekali, kompleks ini penuh manusia,” lanjutnya.

Padahal, saat itu panitia memungut karcis kepada penonton begitupun bagi penjual jajanan dan warung-warung di sekitar arena. Warga sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan karcis, situasinya mirip spot wisata tempat warga menghibur diri.

Bagi penonton yang membeli karcis mereka akan menyaksikan pacuan dari dalam lingkaran yang akan dilintasi kuda. Di sisi luar, beberapa meter dari arena, panita menyediakan dua hingga tiga panggung. Satu panggung untuk panitia dan sisanya untuk tamu istimewa seperti bupati dan pejabat daerah. Panggung ini didesain lebih tinggi sehingga jalannya lomba disaksikan secara utuh.

Mengenai mekanisme, sebelum kuda memasuki arena terlebih dahulu didaftarkan kepada panitia. Di sini, yang didaftarkan bukanlah nama pemilik kuda melainkan nama kuda itu sendiri. Saat itu semua kuda diberi nama oleh pemiliknya, ada yang diberi nama Bintang Timur, El Gresor, Tornado, Kela Potuga, dan ada juga yang bernama Mera Potulando. Pokoknya unik-unik, sebutnya.

Setelah didaftarkan, kuda akan diukur tinggi badan oleh panitia agar dipetakan ke dalam 3 kelompok. Kuda-kuda yang berukuran paling tinggi dikelompokkan ke kelas A, kuda dengan tinggi menengah di kelas B, lalu kuda-kuda pendek di kelompokkan ke kelas C. Kuda kelas C paling banyak di setiap gelaran, rata-rata 40 ekor kuda.

Selanjutnya kuda diarahkan panitia ke tempat yang disiapkan sebagai lelang. Lelang kuda semacam taruhan dimana panitia memberi kesempatan penonton menawar harga untuk kuda yang akan berlomba. Usai diadakan lelang barulah kuda memasuki arena balapan.

Hari pertama pacuan biasanya diadakan untuk kuda kelas C. Mirip babak penyisihan, 4 ekor kuda dilepas bertarung mengitari arena sebanyak satu putaran mencari pemenang. Selesai dengan 4 kuda, selanjutnya 4 kuda lagi dilepas, dan begitu seterusnya. Kuda-kuda yang menang akan bertarung lagi dan terus dieliminasi hingga mendapatkan juara 1.

Selesai dengan kuda kelas C, pada hari kedua dilombakan kuda kelas B dan hari ketiga untuk kuda kelas A.

Namun, belum berhenti di situ, masih ada pertandingan lagi sebab selain mencari juara 1 di kelas masing-masing, panitia juga mencari Juara Umum. Kuda yang bertanding mencari Juara Umum adalah kuda juara 1 dari kelas C, B, dan kelas A. Pertandingan mencari juara umum berbeda dengan sebelumnya karena disini kuda akan mengitari lingkaran sebanyak 2 putaran. Dan agar pertandingan berjalan adil, panitia mengatur posisi kuda secara berurutan.

“Jadi, kuda juara kelas C diposisikan di depan beberapa meter, diikuti kuda kelas B, dan terakhir diposisi paling belakang kuda kelas A,” jelas Pala Ahmadu. Pertandingan mencari juara umum biasanya diadakan pada hari ke 4 atau hari terakhir, yang langsung dilanjutkan dengan penyerahan piala oleh pemerintah.

Pala Ahmadu tak bisa lupa meriahnya saat kuda berlari kencang komentator mengiringi derap kuda dengan komentar dan  teriakan-teriakan yang bikin penonton histeris. Penonton spontan melompat-lompat bahkan berlari cari sisi terbaik melihat kuda jagoannya.

Pertandingan di arena ini seingat Pala Ahmadu berlangsung selama 3 atau 4 tahun sebelum dipindahkan ke wilayah Paupanda. Banyak orang mengatakan pemindahan lokasi disebabkan adanya pembangunan bandara Ende saat itu, namun saat dikonfirmasi, Pala Ahmadu membantah. “Bukan karena itu,” ucapnya.

Sambung Pala Ahmadu, pemindahan lokasi dikarenakan kaluarganya kesal dengan Pemkab Ende yang ingkar dengan kesepakatan tentang penggunaan lahan mereka. Keluarganya tidak mendapat apapun dari pemerintah selama lahan digunakan paddahal pemerintah memungut karcis dari penonton dan dari warung-warung. Karena itulah keluarganya enggan perpanjang kerjasama.

“Sekitar 4 tahun mungkin diadakan, pemerintah tidak bayar sewa lahan. Jadi uangnya yang pacuan kuda ini tidak kasih kakek saya. Pemerintah tidak bagi sama rata. Akhirnya sudah, kakek saya tutup”.

Selanjutnya arena pacuan kuda pindah ke daerah Paupanda, tepatnya di trek lurus di Jalan Ikan Paus, Kota Ende. Pemindahan arena diperkirakan terjadi sekitar tahun 1972. Pala Ahmadu tak dapat mengingat dengan jelas sebab di arena Paupanda dirinya tidak lagi menjadi joki melainkan sebatas pemilik kuda.